Peran
Tindak Tutur dalam Seni Pertunjukan Ketoprak
Disusun guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Pragmatik Bahasa Jawa
Disusun oleh :
Ivanka Pramushinta
2601411003
Rombel 1
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
2011
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Judul Jurnal : Peran Tindak Tutur dalam Seni Pertunjukan Ketoprak
Ketoprak merupakan salah satu kesenian Jawa
Tengah yang
mampu mengundang banyak penonton dan pendengar di pelbagai pelosok pulau Jawa. Ketoprak merupakan refleksi
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa khususnya, yakni
menggambarkan suatu cerita luhur bangsa Indonesia pada waktu lampau. Bahasa
yang digunakanpun dapat mengakrabkan situasi dengan masyarakat penonton. Sekarang ini, ketoprak bisa
dikenal oleh masyarakat tidak hanya melalui pertunjukan di panggung saja
melainkan melaui radio dan televisi.
Oleh karena itu, bahasa
ketoprak sangat menarik untuk diteliti terutama yang menyangkut penggunaan
bahasa, atau dalam kajian ini difokuskan pada segi tindak tutur. Menurut Austin (dalam
Levinson, 1983:236) tuturan-tuturan
itu tidak saja dipakai untuk melaporkan sesuatu kejadian, tetapi dalam hal-hal
tertentu, tuturan itu harus diperhitungkan sebagai sebuah pelaksanaan tindakan
(actions).
Beberapa
teori yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain:
a)
Semantik dan Pragmatik
Semantik berbeda dengan
Pragmatik, meskipun keduanya memandang bahasa dari segi makna. Semantik
memandang bahasa menurut makna leksikal, yang terpisah dari situasi dan konteks.
Dengan kata lain, memandang makna bahasa yang bebas konteks (context
independent). Pragmatik memandang makna bahasa menurut pemakainya, yang
terikat oleh situasi dan konteks (context dependent). Sehubungan dengan
penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pada kajian pragmatik.
b)
Konteks
Istilah Konteks
dipergunakan untuk mengacu pada pemahaman antar tokoh (penutur dengan mitra
tutur), tentang pengetahuan, pengalaman, persoalan yang dipraanggapkan,
situasi, waktu, tempat, dan peristiwa. Atau dengan kata lain, semua latar
belakang yang berkaitan dengan pengetahuan penutur dan mitra tutur. Dengan
demikian, konteks tidak hanya mengacu ungkapan secara verbal sebagai konteks
lingual (cotext), tetapi juga mengacu pada beberapa hal yang ada di luar
bahasa, sebagai konteks non lingual (context).
c)
Praanggapan, Implikatur dan Inferensi
Makna pragmatik sebuah tuturan
tidak selalu didapatkan dari tuturan yang sungguh-sungguh disampaikan oleh
penutur. Dengan kata lain, makna yang tersurat dalam sebuah tuturan, tidaklah
selalu sama dengan makna yang tersirat. Makna yang tersirat akan dapat
diperoleh dengan mencermati konteks yang menyertai munculnya tuturan itu. Untuk
dapat memahami sebuah konteks, diperlukan piranti yang berupa teori, yaitu ;
Praanggapan, Implikatur, dan Inferensi.
Secara umum, penutur
selalu merancang pesan-pesan bahasanya berdasarkan asumsi-asumsi, yang sudah
diketahui oleh mitra tutur. Tentu saja
asumsi itu dapat salah, tetapi asumsi-asumsi itu mendasari banyak hal dalam
penggunaan bahasa. Apa yang diasumsikan oleh penutur, sebagai hal yang benar
atau hal yang diketahui oleh mitra tutur, dapat disebut sebagai praanggapan (presupposition).
Sebuah tuturan dapat
mengimplikasikan proposisi yang sebenarnya, bukan merupakan bagian dari tuturan
tersebut, dan bukan pula merupakan konskuensi
logis dari tuturan itu, itulah yang disebut dengan implikatur.
Inferensi atau kesimpulan
sering harus dibuat sendiri oleh mitra tutur, karena dia tidak tahu apa makna
yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh penutur. Karena jalan pikiran penutur
berbeda dengan mitra tutur, akan memungkinkan kesimpulan mitra tutur meleset,
atau bahkan salah sama sekali. Apabila hal ini terjadi, maka mitra tutur harus
membuat inferensi lagi. Dalam hal ini Gumperz (dalam Kartomihardjo, 1993:31)
menganjurkan untuk lebih banyak menggunakan kesimpulan yang bersifat pragmatik,
dan bukannya yang logis saja.
Tindak tutur yang ditemukan dalam pagelaran ketoprak
Tindak tutur ‘Mengancam’ dan
‘Mendukung’
Konteks tuturan:
Tumenggung Wiroguno kebingungan
dalam menghadapi keteguhan hati rara Mendut, sehingga dia meminta pendapat dari
para pembantunya.
Bentuk tuturan:
Wirojoyo: “Menawi Mendut
mboten purun, mopa kapundhut garwa, lha kadhawuhan mbayar pajeg. Mangke
dangu-dangu lak nggih purun, saking pundi artanipun Kanjeng”
(Kalau Mendut tidak mau, menolak
dijadikan isteri, disuruh membayar pajak. Nanti lama kelamaan khan bersedia,
dari mana dia mendapatkan uang kanjeng).
Wiromantri: “Menika leres,
leres ndara nggung. Kadhawuhan mbayar pajeg kemawon. Leres, leres kanjeng,
dangu-dangu lak nggih keluh”
(Itu betul, betul ndara Nggung.
Disuruh membayar pajak saja. Betul, betul kanjeng, lama kelamaan juga akan
luluh).
Analisis tuturan:
Pendapat yang disampaikan
Wirojoyo tersebut bukan merupakan pemberitahuan terhadap rara Mendut, tetapi
lebih merupakan ancaman, karena dia akan dibebani untuk membayar pajak. Pajak
mestinya hanya dibebankan kepada para pedagang, saudagar, atau bangsawan yang berpenghasilan
tinggi, namun kini akan dibebankan kepada Mendut yang tidak mempunyai
penghasilan apa-apa. Dengan diwajibkannya Mendut membayar pajak, jelas
merupakan ancaman bagi
Mendut. Dengan demikian, diharapkan Mendut mau menerima pinangan Tumenggung Wiroguno,
karena Mendut tidak mungkin mampu membayar pajak. Pendapat Wirojoyo didukung
oleh Wiromantri, yang membenarkan pendapat Wirojoyo. Dengan demikian, ancaman
yang disampaikan Wirojoyo telah mendapatkan dukungan Wiromantri, dan diharapkan
disetujui oleh Tumenggung Wiroguno.
Tindak tutur yang ditemukan dalam masyarakat
Tindak
Tutur ‘Meminta bantuan’ dan ‘Menolak’
Konteks tuturan :
Ada
seorang anak perempuan yang mengetahui saudaranya yang akan dioperasi, sehingga
dia bercerita kepada bu lik dan bu dhenya.
Bentuk tuturan :
Anak
perempuan : “Lik, jerene Dhe Sri, Mbak
lis mripate kok ameh dioperasi.”
(Lik,
katanya Dhe Sri matanya Mbak Lis akan dioperasi)
Bu Lik
: “Lha kok? Jare wis ameh mari
ndek iko.”
(Lha kok
bisa? Katanya dulu sudah mau sembuh)
Bu Dhe
: “Halah. Barang ora gelem ngomong
karo aku. Nek gelem ngomong nek ameh operasi dak tak kon ngeterna Kang No nek
rumah sakit. Lha meneng ae hare, aku yo gak reti a.”
(Halah,
orang nggak mau ngomong sama aku kok. Kalau mau ngomong kan bisa saya suruh
Kang No untuk mangantarkannya. Lha, diam saja, aku ya nggak tau lah)
Analisis
Tuturan :
Ungkapan
yang disampaikan oleh anak perempuan tersebut bukan merupakan pemberitahuan
terhadap Bu Lik dan Bu Dhenya, melainkan permintaan tolong, karena dia
mengetahui saudaranya yang akan dioperasi. Sedangkan Bu Dhenya malah mengatakan
bahwa dia tidak tahu tentang masalah yang dihadapi Mbak Lis, padahal si anak
perempuan sudah memberitahunya. Dia menolak secara halus dengan alasan tidak
tahu karena Mbak Lis tidak datang sendiri dan meminta bantuan kepada bu dhenya.
Namun, tidaklah mungkin jika Mbak Lis akan datang ke rumah bu dhenya karena dia
sedang sakit. Maka, bu dhenya tidak mungkin memberi bantuan yaitu berupa
antaran kerumah sakit.
Tindak tutur ‘Permisi’ dan
‘Mempersilahkan’
Konteks tuturan:
Sedang terjadi pertemuan antara Pak Lurah
dan Carik,
tiba-tiba kedatangan tamu yang sudah dikenal dengan baik.
Bentuk tuturan:
Sayekti: “Kula ingkang sowan pak.”
(Saya yang datang pak).
Pak Lurah: “Ya, ndang
lungguh ! Kuwi segamu dipangan!”
(Duduklah, itu makan nasimu).
Analisis tuturan:
Sayekti sebagai keponakan
Pak Lurah
menuturkan “permisi‟
dengan cara cukup akrab, yaitu dengan mengatakan “kula ingkang sowan”.
Pada umumnya, seseorang yang akan masuk ke rumah orang lain, akan mengatakan “kula
nuwun” (permisi), namun bila antara penutur dengan mitra tutur sudah cukup
akrab, maka tindak tutur “permisi‟
akan sangat lazim memakai “kula ingkang sowan”. Pak Lurah dalam mempersilahkan
tamunya juga dengan perkataan cukup akrab, yaitu langsung mempersilahkan duduk.
Pada umumnya bagi tamu yang belum akrab akan dipersilahkan masuk dulu “mangga
mlebet”,
baru kemudian dipersilahkan duduk. Perbedaan ini hanya terjadi pada tingkat
keakraban antara penutur dengan mitra tutur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar