KEBUDAYAAN MASYARAKAT SAMIN DI DESA
BATUREJO KECAMATAN SUKOLILO KABUPATEN PATI
Disusun guna Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Telaah Pranata
Masyarakat Jawa
Dosen Pengampu :
Dra. Sri Prastiti K. A
Oleh :
Ivanka
Pramushinta (2601411003)
Silvia Oti Nugraheni (2601411004)
Eni Purwati (2601411027)
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang
berjudul “Kebudayaan Masyarakat
Samin di Desa Baturejo Kecamatan
Sukolilo Kabupaten Pati”. Makalah ini di susun guna memenuhi
tugas mata kuliah Telaah Pranata
Masyarakat Jawa.
Di dalam setiap masyarakat selalu
terdapat kebudayaan yang meliputi berbagai sistem antara lain : religi dan
keagamaan, organisasi dan kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian,
pencaharian hidup, teknologi dan peralatan.
Kami menyadari bahwa makalah ini kurang
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah.
Akhir kata, kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
usaha kita. Amin.
Semarang, 12 Desember 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Adanya masyarakat samin
dilatarbelakangi oleh seorang yang bernama Samin Surosentiko yang mempunyai
nama kecilnya Raden Kohar atau Surowijoyo. Beliau lahir di Desa Ploso Kediren
kecamatan Randublarung kabupaten Blora 1859. Baliau turunan bangsawan yaitu
putra dari Kyai Keti dari Rajekwesi. Beliau memiliki semangat nasionalisme yang
tinggi. Setelah dewasa, beliau membentuk pergerakan untuk membela rakyat kecil
yang disebut “saminisme”.
Raden Samin tidak terima atas
perlakuan Blanda yang melakukan privatisassi hutan jati milik warga dan harus
membayar pajak pada kompeni. Oleh karena itu, beliau melakukan pencurian harta
milik para saudagar kaya dan hasil pencurian tersebut dibagi-bagikan pada
rakyat jelata. Beliau juga member ceramah-ceramah pada warga di pendopo.
Bentuk yang dilakukan adalah menolak
membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial.
Masyarakat ini memusingkan pemerintah
Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang
dianggap menjengkelkan oleh kelompok diluarnya. Masyarakat Samin sendiri juga
mengisolasi diri hingga baru pada tahun 70an mereka baru tahu Indonesia telah
merdeka.
Kelompok Samin ini tersebar sampai pantura
timur Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa
Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan
kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal dikawasan pegunungan
Kendeng diperbatasan dua propinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong
sikep, karena kata Samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin
sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, suka mencuri, menolak
membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon.
Sedangkan
yang melatarbelakangi adanya masyarakat Samin yang tinggal di Desa Baturejo
Kecamatan Sukolilo Pati adalah pindahnya orang Samin dari Blora. Mereka datang
dan menetap di desa tersebut karena pekerjaan dan perkawinan. Mereka mencari
tempat yang tanahnya cocok untuk bercocok tanam karena orang Samin
bermatapencaharian sebagai petani dan peternak. Selain itu, faktor lain yang
menyebabkan adanya masyarakat Samin di desa tersebut karena penyebarannya yang cukup rata di sepanjang
pantura.
1.2. Rumusan masalah
1.2.1. Apa
yang dimaksud dengan masyarakat samin ?
1.2.2. Bagaimana sikap hidup masyarakat samin yang berdomisili
di Desa Baturejo Sukolilo Pati ?
1.2.3. Bagaimana
kebudayaan yang ada pada masyarakat samin di desa tersebut?
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui
definisi masyarakat samin.
1.3.2. Mengetahui sikap hidup masyrarakat samin yang berdomisili
di Desa Baturejo Sukolilo Pati.
1.3.3. Mengetahui
kebudayaan pada masyarakat samin
di Desa Baturejo Sukolilo Pati.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Masyarakat Samin
Kata “Samin”
yang sering disebut oleh masyarakat pada umunya sudah berkonotasi negatif. Samin
diartikan sebagai orang aneh, bodoh, tidak mau mengikuti perkembangan zaman dan
teknologi, selalu mengisolasi diri, dan membentuk komunitas sendiri. Mereka
tidak tinggal dalam satu wilayah khusus, melainkan menyebar di daerah-daerah
sekitar Blora, Pati, Purwodadi, dan Bojonegoro. Konsentrasi terbesar Sedulur
Sikep memang di Sukolilo, Pati. Tetapi, mereka bermukim di tengah masyarakat
heterogen.
Masyarakat
adalah suatu kelompok orang yang tinggal pada tempat tertentu dalam jangka
waktu lama dan memiliki kebudayaan tertentu. Samin adalah sebuah
gerakan perlawanan masyarakat yang lahir pada masa penjajahan Belanda. Menurut Amrih Widodo gerakan Samin adalah
gerakan perlawanan petani terhadap kebijakan yang menindas rakyat kecil. Dalam
pandangan Amrih, Samin adalah fenomena sosial yang tertua di Asia Tenggara
sebagai gerakan petani-protonasionalisme yang semakin mekar akibat makin
ditancapkannya cengkeraman kekuasaan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19
M.
Menurut Pawito (2007 : 87) ada
beberapa kenyataan yang menarik pada masyarakat Samin : a) pola komunikasi
ditandai oleh komunikasi lisan, b) diwarnai oleh kecenderungan top-down dan
terdapat nuansa arus balik, c) berpegang teguh pada ketentuan atau norma agama
yang dianut mereka disebut agama adam. Jadi pada dasarnya, Samin adalah salah
satu manifestasi dari gerakan revolusi (perlawanan) terhadap pemerintah
kolonial dengan karakteristik dan strategi perjuangannya sendiri yang khas.
2.2. Sikap
Hidup Masyarakat Samin
a.
Sikap
Skeptis
Sikap skeptis merupakan sikap identik yang dimiliki oleh
orang Samin. Skeptis adalah sikap kurang percaya, ragu-ragu ( terhadap
keberhasilan ajaran) Misalnya : penderitaan dan pengalaman menjadikan orang
Samin bersifat sinis dan skeptis.
Dalam penggunaan sehari-hari, sikap skeptis pada orang
Samin akan tampak jika ditanya umur mereka maka mereka akan menjawab “satu”. Contoh
lain, jika ditanyakan jumlah anak, mereka serempak menjawab, "Loro,
lanang lan wedok." Jawaban yang bagi orang di luar penganut Saminisme
boleh jadi mengesalkan.
Akan tetapi, dengar ucapan Icuk Bamban. "Akeh sing ora ngerti
apa kang aran Sikep. Wong Sikep dianggep aneh. Padhahal yen dinalar, wong Sikep
iku maca kasunyatan. Maca hak awake dhewek. Maca sing wujud. Wong sak dunya,
ora ana kang beda. Lanang padha lanange. Wedhoke padha wedhoke. Wong lanang
sikep rabi karo wong wedok."
Banyak orang yang berpandangan bahwa orang Samin itu aneh. Namun ada
juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang yang membaca kenyataan,
membaca sesuatunya dari yang nyata. Dalam konteks itu, semua orang adalah sama.
Semua orang itu bersaudara.
b. Keyakinan merupakan senjata atau pegangan
hidup.
Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat
dalam hidupnya. Namun agama orang Samin tidak sama dengan agama-agama orang
lain pada umumnya. Pemerintahpun tidak mengakui agama yang dimiliki oleh orang
Samin. Jadi, orang Samin dapat dikatakan tidak memiliki agama melainkan mereka
hanya memiliki suatu kepercayaan. Kepercayaan yang dimiliki mereka yakni
Hidudharma. Beberapa ajaran kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru
yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran).
Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali
dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha
sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di
atas dipengaruhi oleh ajaran keislaman yang berasal dari ajaran Syeh siti jenar
yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga dapat dikatakan
orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.
Dalam keyakinan Hidudharma terdapat suatu ajaran bahwa manusia
harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya. Kalimat tersebut bermakna bahwa hidup di dunia itu hanya
sekali maka kita harus benar-benar menjalani hidup sebaik mungkin dan amal kita
selama di dunia itu akan dipertanggungjawabkan nantinya.
c. Menghormati dan menghargai hak orang
lain.
Dalam kenyataannya orang Samin memang terlihat kaku dan
sulit menerima kebudayaan luar. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan
bahwa orang Samin sangat menghormati dan menghargai hak orang lain. Bila
berbicara harus menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Orang Samin juga
dilarang berdagang karena terdapat unsur ‘ketidakjujuran’ di dalamnya. Juga
tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Samin
di Bombong, Kecamatan Sukolilo, Pati kukuh menggenggam keyakinan itu. Selain itu juga terdapat aturan bahwa mereka tidak akan mengganggu orang, tidak berani bertengkar, apalagi iri hati, dan mengambil
milik orang lain.
1.3. Penerapan Pranata Kebudayaan Masyarakat Samin
a.
Pendidikan
Untuk pranata masyarakat Samin di Sukolilo mayoritas orang tua yang
tidak mengijinkan anaknya untuk sekolah sehingga banyak anak-anak usia sekolah
yang sudah menikah ataupun bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun,
seiring berkembangnya jaman dan membaurnya masyarakat samin dengan masyrakat
biasa menjadikan anak orang samin sudah boleh bersekolah walaupun hanya sebatas
SD. Menurut Jacobus ( 2006 : 31 )
kebudayaan asing yang mudah diterima adalah (1) Unsur kebudayaan kebendaan,
seperti peralatan yang terutama sangat mudah dipakai dan sangat bermanfaat, (2)
Unsur-unsur yang terbukti membawa manfaat besar misalnya radio transistor, (3)
Unsur-unsur yang mudah disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pendidikan sendiri merupakan unsur yang mudah disesuaikan dengan
masyarakat.
Namun, para orang tua dari masyarakat Samin tidak memperbolehkan
anaknya bersekolah kejenjang yang lebih tinggi karena mereka takut akan
ditinggalkan anaknya nantinya. Orang Samin berpikir bahwa adanya sekolah atau
pendidikan formal para orang tua dari kalangan masyarakat Samin menganggap jika
anak-anak mereka sekolah, maka anak-anak itu nantinya tidak mau membantu orang
tua mereka. Dengan bekal ilmu pengetahuan dan ajaran dari sekolah yang mereka
miliki nantinya dikhawatirkan akan mengubah sikap hidup, cara pandang dan
segalanya yang berhubungan dengan kebudayaan orang Samin.
b.
Perkawinan
Penerapan pranata masyarakat Samin di Desa Baturejo Sukolio Pati dalam
hal adat perkawinan hampir sama dengan adat orang Jawa. Dimulai dari pelamaran
yang dilakukan dengan laki-laki datang kerumah perempuan dan membawa seserahan.
Yang membedakan hanyalah saat Upacara Ijab, yakni pengantin pria dan wali dari
pengantin wanita melakukan suatu perjanjian untuk meresmikan hubungan kedua
mempelai tanpa adanya naib atau orang yang menikahkan. Setelah itu maka kedua
mempelai dapat dikatakan suami istri.
Masyarakat Samin biasa menyebutnya dengan sikep rabi atau sikep
laki. Sikep rabi merupakan
sesuatu yang sangat prinsip bagi mereka. Dalam ajaran Saminisme, perkawinan itu
sangat penting. Perkawinan merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang
seterusnya untuk menciptakan atmaja tama (anak yang mulia). Dalam
perkawinan menurut adat mereka, pengantin laki-laki harus mengucapkan
"syahadat" yang berbunyi (kalau ditejemahkan) lebih kurang,
"Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang
perempuan bernama ... Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami
jalani berdua."
Hal itulah yang menyebabkan stigmasi tertentu terhadap orang Samin,
yakni orang Samin dianggap sebagai pemuja kumpul kebo. Tak sebagai pembenaran,
bagi mereka menikah dengan seseorang adalah untuk selamanya. Jadi, tidak ada
ceritanya bahwa ada perselingkuhan pada mereka. Kecuali, yen rukune wis
salin, sebutan seorang lelaki yang istrinya telah meninggal, seorang Sikep
baru boleh menikah lagi.
Mereka berpandangan bahwa dengan melalui perkawinan, mereka dapat
belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada
kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.
Orang Samin juga berpandangan bahwa dengan melalui perkawinan, mereka
dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada
kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.
c.
Kegotong-royongan
Dalam kehidupan sehari-hari orang Samin juga membaur dengan masyarakat
sekitar. Tetapi sedikit banyak, mereka masih menutup diri. Dalam pengertian
mereka tidak mudah menerima kedatangan orang yang dianggapnya asing.
Kegotongroyongan masyarakat Samin di Desa Baturejoitu sangatlah kuat.
Seperti pada masyarakat lainnya, orang Samin di desa tersebut juga mengadakan
perkumpulan pada waktu dan tempat tertentu. Sikap kegotongroyongan lain
ditunjukkan saat sesama orang Samin mempunyai kerja, saat ada orang samin yang
meninggal, mereka tak segan-segan untuk segera datang membantu. Namun apabila
yang punya kerja atau yang meninggal orang yang selain Samin, mereka tidak mau
datang. Mereka lebih memilih berdiam diri di rumah.
Pola kehidupan orang Samin yang seperti itu telah tertata sejak jaman
dulu. Dan semua itu dapat kita ketahui wujud nyatanya. Bagaimana eksistensi
orang Samin terjaga begitu kuat sehingga sampai detik ini pola-pola tersebut
tetap diterapkan dalam kehidupan walaupun dianggap aneh oleh masyarakat lain.
Kita harus mengakui bahwa kehidupan orang Samin sangat unik dan aneh.
Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan di dunia, orang Samin
mempunyai pola hidup yang berbeda dengan orang Jawa. Kebiasaan hidup secara
berkelompok menyebabkan mereka dekat satu dengan lainnya, sehingga saling
menolong merupakan sebuah kebutuhan.
d.
Mata Pencaharian
Dalam hal mata pencaharian masyarakat Samin Sukolilo masih menganut
ajaran nenek moyangnya, yakni bermatapencaharian sebagai petani dan peternak.
Mereka menanam jagung, padi, tebu, dan sayur mayur. Sedangkan hewan ternak yang
dimiliki adalah ayam dan kambing.
e.
Kesenian
Untuk pranata ini didaerah Sukolilo ditemukan kethoprak, campursari,
wayang. Dalam hal tersebut, masyarakat samin tidak berdisri sendiri mengadakan
kesenian tersebut melainkan bersama dengan warga lainnya.
f.
Primbon
Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon
(kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan,
tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin.
g.
Upacara Adat
Untuk upacara-upacara adat sebagai jembatan penghubung antara manusia
dengan Tuhan, seperti suronan, meron dan lain-lain. Kemudian hal-hal yang
berhubungan denga pantangan seperti tidak boleh berdagang, dan menikah selain
dengan orang Samin.
h.
Pemerintahan
Pemerintahan terkecil dimasyarakat Samin yang tinggal di Desa Baturejo
biasanya dimulai dari RT, RW, Lurah. Walaupun sudah ada ketua RT dan sebagainya,
masyarakat Samin masih memiliki ketua Samin yang memimpin masyarakat Samin
didaerah tersebut.
i.
Tempat Perkumpulan Orang
Samin “Omah Kendeng”, Sukolilo
Seperti masyarakat pada umumnya, masyarakat Samin di Sukolilo
mengadakan pertemuan yang diadakan pada waktu dan tempat tertentu. Tempat
perkumpulan orang Samin yang terletak di Desa Baturejo yakni Omah Kendeng.
Pertemuan tersebut diadakan setiap Hari Minggu. Dalam perkumpulan orang Samin
tersebut dipimpin oleh Pak Gun ketua Samin di Desa Baturejo.
Omah Kendeng memiliki ruang berupa bangunan yang didirikan dengan
solidaritas, pesan moral dan kearifan ekologis. Omah Kendeng yang terletak di lereng
pegunungan Kendeng, serupa joglo rumah adat Jawa yang dirancang tak berpintu.
Konstruksi Omah Kendeng tak menggunakan semen sebagai lapisan perekat, namun
memakai teknologi tradisional perekat bangunan dari bahan alami. Teknologi
perekat alami ini juga dipakai di beberapa situs kuno, semisal Menara Kudus,
beberapa Candi dan bangunan lain.
Orang Samin menggelar agenda
silaturahmi tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi kemanusiaan yang sudah tidak
aman karena adanya teror, transaksi kepemimpinan, relasi material elite politik
dan “dagang sapi” di berbagai titik kepentingan. Acara ini dihadiri oleh
ratusan warga dari berbagai komunitas,
agama, etnis, dan tradisi yang membawa pesan untuk terus menggalang
solidaritas kemanusiaan. Agenda ini juga menjadi pertemuan akan kegelisahan dan
pertanyaan yang menghantui komunitas Samin dan masyarakat Sukolilo. Kegelisahan
itu muncul karena ancaman kerusakan lingkungan di Sukolilo dan sekitarnya.
Pegunungan Kendeng yang digunakan sebagai lumbung air, habitat flora-fauna, dan
titik aktifitas pertanian warga, menjadi incaran pembangunan industri.
Selama ini, pegunungan digunakan sebagai simbol titik kekuatan,
keberlangsungan tradisi dan sumber kehidupan bagi warga Sukolilo. Warga Samin
menganggap pegunungan Kendeng sebagai tanda bagi keberlangsungan tradisi
pertanian yang jadi simpul kemandirian pangan. Pesan dari sesepuh kaum Samin
harus tentang kearifan ekologis harus dipertahankan sebagai visi dan landasan
aktifitas. Pertemuan berbagai komunitas yang diprakarsai oleh komunitas Samin
ini menjadi titik dialog dan oase untuk mengaktualkan ekologis, nilai humanis,
dan pesan kedamaian.
PENUTUP
Simpulan
Samin
adalah sebuah gerakan perlawanan masyarakat yang lahir pada masa penjajahan
Belanda sebab
menindas rakyat kecil. Kelompok Samin ini tersebar sampai
pantura timur Jawa Tengah,
salah satunya di Desa Baturejo Sukolilo Pati. Masyarakat
Samin memiliki sikap hidup dan
pranata yang sangat unik dan berbeda dengan kebudayaan lain.
Hingga
sekarang, kebudayaan tersebut masih dapat bertahan karena masyarakat samin percaya bahwa dalam menuju kemajuan hari
dilalui dengan merangkak lambat. Oleh karena itu, mereka tidak mudah menerima
kebudayaan selain budayanya.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini kurang dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ranjabar,
Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya
Indonesia Suatu Pengantar. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Sastroatmodjo,
Soerjanto. 2003. Masyarakat Samin.
Jogyakarta:
Narasi
Pelly,
Usman. 1994. Teori-teori Sosial Budaya.
Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pawito. 2007. Penelitian
Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
LAMPIRAN
Beberapa rumah orang Samin di Dukuh Mbombong, Baturejo,
Sukolilo, Pati.
Orang Samin yang sedang menggembala ternaknya di Sungai Jeratun
tepat berada di depan rumahnya.
Cangkang keong yang dikumpulkan di tepi jalan oleh
anak-anak orang Samin.
Omah
Kendeng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar