Minggu, 29 Juni 2014

KEBUDAYAAN MASYARAKAT SAMIN



unnes.jpg

KEBUDAYAAN MASYARAKAT SAMIN DI DESA BATUREJO KECAMATAN SUKOLILO KABUPATEN PATI
Disusun guna Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Telaah Pranata Masyarakat Jawa
Dosen Pengampu :
Dra. Sri Prastiti K. A
Oleh :
Ivanka Pramushinta            (2601411003)
Silvia Oti Nugraheni             (2601411004)
Eni Purwati                           (2601411027)

FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul “Kebudayaan Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati”. Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Telaah Pranata Masyarakat Jawa.
            Di dalam setiap masyarakat selalu terdapat kebudayaan yang meliputi berbagai sistem antara lain : religi dan keagamaan, organisasi dan kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, pencaharian hidup, teknologi dan peralatan.
            Kami menyadari bahwa makalah ini kurang dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah.
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Semarang, 12 Desember 2012

          Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Adanya masyarakat samin dilatarbelakangi oleh seorang yang bernama Samin Surosentiko yang mempunyai nama kecilnya Raden Kohar atau Surowijoyo. Beliau lahir di Desa Ploso Kediren kecamatan Randublarung kabupaten Blora 1859. Baliau turunan bangsawan yaitu putra dari Kyai Keti dari Rajekwesi. Beliau memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Setelah dewasa, beliau membentuk pergerakan untuk membela rakyat kecil yang disebut “saminisme”.
            Raden Samin tidak terima atas perlakuan Blanda yang melakukan privatisassi hutan jati milik warga dan harus membayar pajak pada kompeni. Oleh karena itu, beliau melakukan pencurian harta milik para saudagar kaya dan hasil pencurian tersebut dibagi-bagikan pada rakyat jelata. Beliau juga member ceramah-ceramah pada warga di pendopo.
            Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini  memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok diluarnya. Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun 70an mereka baru tahu Indonesia telah merdeka.
 Kelompok Samin ini tersebar sampai pantura timur Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal dikawasan pegunungan Kendeng diperbatasan dua propinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata Samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon.
Sedangkan yang melatarbelakangi adanya masyarakat Samin yang tinggal di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Pati adalah pindahnya orang Samin dari Blora. Mereka datang dan menetap di desa tersebut karena pekerjaan dan perkawinan. Mereka mencari tempat yang tanahnya cocok untuk bercocok tanam karena orang Samin bermatapencaharian sebagai petani dan peternak. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan adanya masyarakat Samin di desa tersebut karena  penyebarannya yang cukup rata di sepanjang pantura.

1.2.    Rumusan masalah
1.2.1.      Apa yang dimaksud dengan masyarakat samin ?
1.2.2.      Bagaimana sikap hidup masyarakat samin yang berdomisili di Desa Baturejo Sukolilo Pati ?
1.2.3.      Bagaimana kebudayaan yang ada pada masyarakat samin di desa tersebut?

1.3.    Tujuan
1.3.1.      Mengetahui definisi masyarakat samin.
1.3.2.      Mengetahui sikap hidup masyrarakat samin yang berdomisili di Desa Baturejo Sukolilo Pati.
1.3.3.      Mengetahui kebudayaan pada masyarakat samin di Desa Baturejo Sukolilo Pati.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Masyarakat Samin
Kata “Samin” yang sering disebut oleh masyarakat pada umunya sudah berkonotasi negatif. Samin diartikan sebagai orang aneh, bodoh, tidak mau mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, selalu mengisolasi diri, dan membentuk komunitas sendiri. Mereka tidak tinggal dalam satu wilayah khusus, melainkan menyebar di daerah-daerah sekitar Blora, Pati, Purwodadi, dan Bojonegoro. Konsentrasi terbesar Sedulur Sikep memang di Sukolilo, Pati. Tetapi, mereka bermukim di tengah masyarakat heterogen.
Masyarakat adalah suatu kelompok orang yang tinggal pada tempat tertentu dalam jangka waktu lama dan memiliki kebudayaan tertentu. Samin adalah sebuah gerakan perlawanan masyarakat yang lahir pada masa penjajahan Belanda. Menurut  Amrih Widodo gerakan Samin adalah gerakan perlawanan petani terhadap kebijakan yang menindas rakyat kecil. Dalam pandangan Amrih, Samin adalah fenomena sosial yang tertua di Asia Tenggara sebagai gerakan petani-protonasionalisme yang semakin mekar akibat makin ditancapkannya cengkeraman kekuasaan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19 M.
 Menurut Pawito (2007 : 87) ada beberapa kenyataan yang menarik pada masyarakat Samin : a) pola komunikasi ditandai oleh komunikasi lisan, b) diwarnai oleh kecenderungan top-down dan terdapat nuansa arus balik, c) berpegang teguh pada ketentuan atau norma agama yang dianut mereka disebut agama adam. Jadi pada dasarnya, Samin adalah salah satu manifestasi dari gerakan revolusi (perlawanan) terhadap pemerintah kolonial dengan karakteristik dan strategi perjuangannya sendiri yang khas.
2.2. Sikap Hidup Masyarakat Samin
a.       Sikap Skeptis
Sikap skeptis merupakan sikap identik yang dimiliki oleh orang Samin. Skeptis adalah sikap kurang percaya, ragu-ragu ( terhadap keberhasilan ajaran) Misalnya : penderitaan dan pengalaman menjadikan orang Samin bersifat sinis dan skeptis.
Dalam penggunaan sehari-hari, sikap skeptis pada orang Samin akan tampak jika ditanya umur mereka maka mereka akan menjawab “satu”. Contoh lain, jika ditanyakan jumlah anak, mereka serempak menjawab, "Loro, lanang lan wedok." Jawaban yang bagi orang di luar penganut Saminisme boleh jadi mengesalkan.
Akan tetapi, dengar ucapan Icuk Bamban. "Akeh sing ora ngerti apa kang aran Sikep. Wong Sikep dianggep aneh. Padhahal yen dinalar, wong Sikep iku maca kasunyatan. Maca hak awake dhewek. Maca sing wujud. Wong sak dunya, ora ana kang beda. Lanang padha lanange. Wedhoke padha wedhoke. Wong lanang sikep rabi karo wong wedok."
Banyak orang yang berpandangan bahwa orang Samin itu aneh. Namun ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang yang membaca kenyataan, membaca sesuatunya dari yang nyata. Dalam konteks itu, semua orang adalah sama. Semua orang itu bersaudara.
b.      Keyakinan merupakan senjata atau pegangan hidup.
Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya. Namun agama orang Samin tidak sama dengan agama-agama orang lain pada umumnya. Pemerintahpun tidak mengakui agama yang dimiliki oleh orang Samin. Jadi, orang Samin dapat dikatakan tidak memiliki agama melainkan mereka hanya memiliki suatu kepercayaan. Kepercayaan yang dimiliki mereka yakni Hidudharma. Beberapa ajaran kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran keislaman yang berasal dari ajaran Syeh siti jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga dapat dikatakan orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.
Dalam keyakinan Hidudharma terdapat suatu ajaran bahwa manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya. Kalimat tersebut bermakna bahwa hidup di dunia itu hanya sekali maka kita harus benar-benar menjalani hidup sebaik mungkin dan amal kita selama di dunia itu akan dipertanggungjawabkan nantinya.
c.       Menghormati dan menghargai hak orang lain.
Dalam kenyataannya orang Samin memang terlihat kaku dan sulit menerima kebudayaan luar. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa orang Samin sangat menghormati dan menghargai hak orang lain. Bila berbicara harus menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Orang Samin juga dilarang berdagang karena terdapat unsur ‘ketidakjujuran’ di dalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Samin di Bombong, Kecamatan Sukolilo, Pati kukuh menggenggam keyakinan itu. Selain itu juga terdapat aturan bahwa mereka tidak akan  mengganggu orang, tidak berani  bertengkar, apalagi  iri hati, dan mengambil milik orang lain.

1.3. Penerapan Pranata Kebudayaan Masyarakat Samin
a.       Pendidikan
Untuk pranata masyarakat Samin di Sukolilo mayoritas orang tua yang tidak mengijinkan anaknya untuk sekolah sehingga banyak anak-anak usia sekolah yang sudah menikah ataupun bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, seiring berkembangnya jaman dan membaurnya masyarakat samin dengan masyrakat biasa menjadikan anak orang samin sudah boleh bersekolah walaupun hanya sebatas SD. Menurut Jacobus ( 2006 : 31 ) kebudayaan asing yang mudah diterima adalah (1) Unsur kebudayaan kebendaan, seperti peralatan yang terutama sangat mudah dipakai dan sangat bermanfaat, (2) Unsur-unsur yang terbukti membawa manfaat besar misalnya radio transistor, (3) Unsur-unsur yang mudah disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pendidikan sendiri merupakan unsur yang mudah disesuaikan dengan masyarakat.
Namun, para orang tua dari masyarakat Samin tidak memperbolehkan anaknya bersekolah kejenjang yang lebih tinggi karena mereka takut akan ditinggalkan anaknya nantinya. Orang Samin berpikir bahwa adanya sekolah atau pendidikan formal para orang tua dari kalangan masyarakat Samin menganggap jika anak-anak mereka sekolah, maka anak-anak itu nantinya tidak mau membantu orang tua mereka. Dengan bekal ilmu pengetahuan dan ajaran dari sekolah yang mereka miliki nantinya dikhawatirkan akan mengubah sikap hidup, cara pandang dan segalanya yang berhubungan dengan kebudayaan orang Samin.
b.      Perkawinan
Penerapan pranata masyarakat Samin di Desa Baturejo Sukolio Pati dalam hal adat perkawinan hampir sama dengan adat orang Jawa. Dimulai dari pelamaran yang dilakukan dengan laki-laki datang kerumah perempuan dan membawa seserahan. Yang membedakan hanyalah saat Upacara Ijab, yakni pengantin pria dan wali dari pengantin wanita melakukan suatu perjanjian untuk meresmikan hubungan kedua mempelai tanpa adanya naib atau orang yang menikahkan. Setelah itu maka kedua mempelai dapat dikatakan suami istri.
Masyarakat Samin biasa menyebutnya dengan sikep rabi atau sikep laki. Sikep rabi merupakan sesuatu yang sangat prinsip bagi mereka. Dalam ajaran Saminisme, perkawinan itu sangat penting. Perkawinan merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan atmaja tama (anak yang mulia). Dalam perkawinan menurut adat mereka, pengantin laki-laki harus mengucapkan "syahadat" yang berbunyi (kalau ditejemahkan) lebih kurang, "Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama ... Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua."
Hal itulah yang menyebabkan stigmasi tertentu terhadap orang Samin, yakni orang Samin dianggap sebagai pemuja kumpul kebo. Tak sebagai pembenaran, bagi mereka menikah dengan seseorang adalah untuk selamanya. Jadi, tidak ada ceritanya bahwa ada perselingkuhan pada mereka. Kecuali, yen rukune wis salin, sebutan seorang lelaki yang istrinya telah meninggal, seorang Sikep baru boleh menikah lagi.
Mereka berpandangan bahwa dengan melalui perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.
Orang Samin juga berpandangan bahwa dengan melalui perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.
c.       Kegotong-royongan
Dalam kehidupan sehari-hari orang Samin juga membaur dengan masyarakat sekitar. Tetapi sedikit banyak, mereka masih menutup diri. Dalam pengertian mereka tidak mudah menerima kedatangan orang yang dianggapnya asing.
Kegotongroyongan masyarakat Samin di Desa Baturejoitu sangatlah kuat. Seperti pada masyarakat lainnya, orang Samin di desa tersebut juga mengadakan perkumpulan pada waktu dan tempat tertentu. Sikap kegotongroyongan lain ditunjukkan saat sesama orang Samin mempunyai kerja, saat ada orang samin yang meninggal, mereka tak segan-segan untuk segera datang membantu. Namun apabila yang punya kerja atau yang meninggal orang yang selain Samin, mereka tidak mau datang. Mereka lebih memilih berdiam diri di rumah.
Pola kehidupan orang Samin yang seperti itu telah tertata sejak jaman dulu. Dan semua itu dapat kita ketahui wujud nyatanya. Bagaimana eksistensi orang Samin terjaga begitu kuat sehingga sampai detik ini pola-pola tersebut tetap diterapkan dalam kehidupan walaupun dianggap aneh oleh masyarakat lain.
Kita harus mengakui bahwa kehidupan orang Samin sangat unik dan aneh. Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan di dunia, orang Samin mempunyai pola hidup yang berbeda dengan orang Jawa. Kebiasaan hidup secara berkelompok menyebabkan mereka dekat satu dengan lainnya, sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan.
d.      Mata Pencaharian
Dalam hal mata pencaharian masyarakat Samin Sukolilo masih menganut ajaran nenek moyangnya, yakni bermatapencaharian sebagai petani dan peternak. Mereka menanam jagung, padi, tebu, dan sayur mayur. Sedangkan hewan ternak yang dimiliki adalah ayam dan kambing.

e.       Kesenian
Untuk pranata ini didaerah Sukolilo ditemukan kethoprak, campursari, wayang. Dalam hal tersebut, masyarakat samin tidak berdisri sendiri mengadakan kesenian tersebut melainkan bersama dengan warga lainnya.
f.       Primbon
Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin.
g.      Upacara Adat
Untuk upacara-upacara adat sebagai jembatan penghubung antara manusia dengan Tuhan, seperti suronan, meron dan lain-lain. Kemudian hal-hal yang berhubungan denga pantangan seperti tidak boleh berdagang, dan menikah selain dengan orang Samin.
h.      Pemerintahan
Pemerintahan terkecil dimasyarakat Samin yang tinggal di Desa Baturejo biasanya dimulai dari RT, RW, Lurah. Walaupun sudah ada ketua RT dan sebagainya, masyarakat Samin masih memiliki ketua Samin yang memimpin masyarakat Samin didaerah tersebut.
i.        Tempat Perkumpulan Orang Samin  “Omah Kendeng”, Sukolilo
Seperti masyarakat pada umumnya, masyarakat Samin di Sukolilo mengadakan pertemuan yang diadakan pada waktu dan tempat tertentu. Tempat perkumpulan orang Samin yang terletak di Desa Baturejo yakni Omah Kendeng. Pertemuan tersebut diadakan setiap Hari Minggu. Dalam perkumpulan orang Samin tersebut dipimpin oleh Pak Gun ketua Samin di Desa Baturejo.
Omah Kendeng memiliki ruang berupa bangunan yang didirikan dengan solidaritas, pesan moral dan kearifan ekologis. Omah Kendeng yang terletak di lereng pegunungan Kendeng, serupa joglo rumah adat Jawa yang dirancang tak berpintu. Konstruksi Omah Kendeng tak menggunakan semen sebagai lapisan perekat, namun memakai teknologi tradisional perekat bangunan dari bahan alami. Teknologi perekat alami ini juga dipakai di beberapa situs kuno, semisal Menara Kudus, beberapa Candi dan bangunan lain.
 Orang Samin menggelar agenda silaturahmi tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi kemanusiaan yang sudah tidak aman karena adanya teror, transaksi kepemimpinan, relasi material elite politik dan “dagang sapi” di berbagai titik kepentingan. Acara ini dihadiri oleh ratusan warga dari berbagai komunitas,  agama, etnis, dan tradisi yang membawa pesan untuk terus menggalang solidaritas kemanusiaan. Agenda ini juga menjadi pertemuan akan kegelisahan dan pertanyaan yang menghantui komunitas Samin dan masyarakat Sukolilo. Kegelisahan itu muncul karena ancaman kerusakan lingkungan di Sukolilo dan sekitarnya. Pegunungan Kendeng yang digunakan sebagai lumbung air, habitat flora-fauna, dan titik aktifitas pertanian warga, menjadi incaran pembangunan industri.
Selama ini, pegunungan digunakan sebagai simbol titik kekuatan, keberlangsungan tradisi dan sumber kehidupan bagi warga Sukolilo. Warga Samin menganggap pegunungan Kendeng sebagai tanda bagi keberlangsungan tradisi pertanian yang jadi simpul kemandirian pangan. Pesan dari sesepuh kaum Samin harus tentang kearifan ekologis harus dipertahankan sebagai visi dan landasan aktifitas. Pertemuan berbagai komunitas yang diprakarsai oleh komunitas Samin ini menjadi titik dialog dan oase untuk mengaktualkan ekologis, nilai humanis, dan pesan kedamaian.
PENUTUP
Simpulan
Samin adalah sebuah gerakan perlawanan masyarakat yang lahir pada masa penjajahan Belanda sebab menindas rakyat kecil. Kelompok Samin ini tersebar sampai pantura timur Jawa Tengah, salah satunya di Desa Baturejo Sukolilo Pati. Masyarakat Samin memiliki sikap hidup dan pranata yang sangat unik dan berbeda dengan kebudayaan lain.
Hingga sekarang, kebudayaan tersebut masih dapat bertahan karena masyarakat samin  percaya bahwa dalam menuju kemajuan hari dilalui dengan merangkak lambat. Oleh karena itu, mereka tidak mudah menerima kebudayaan selain budayanya.       
Saran
            Penulis  menyadari bahwa makalah ini kurang dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.






DAFTAR PUSTAKA
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sastroatmodjo, Soerjanto. 2003. Masyarakat Samin. Jogyakarta: Narasi
Pelly, Usman. 1994. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.













LAMPIRAN

Beberapa rumah orang Samin di Dukuh Mbombong, Baturejo, Sukolilo, Pati.
Orang Samin yang sedang menggembala ternaknya di Sungai Jeratun
tepat berada di depan rumahnya.
Cangkang keong yang dikumpulkan di tepi jalan oleh anak-anak orang Samin.
Omah Kendeng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar