Senin, 30 Juni 2014

Analisis Semiotik



logo unnes.jpg
MAKALAH
ANALISIS SEMIOTIK DALAM SERAT DARMAWASITA MANGKUNEGARAN IV
(KODE BAHASA, KODE SASTRA, KODE BUDAYA)
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sejarah Sastra Jawa
Dosen pengampu
Drs. Sukadaryanto, M. Hum

Disusun oleh
                            Silvia Oti Nugraheni
                                  2601411004
                                     Rombel 1
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada zaman dahulu, banyak ditemukan ajaran-ajaran yang terkandung dalam sastra piwulang. Ada yang berbentuk lisan, tapi ada pula yang dituangkan dalam karya tulis berbentuk tembang. Ada yang berbentuk puisi, ada juga yang berbentuk prosa. Ajaran-ajaran tersebut dulunya banyak dikaji dan diamalkan dalam kehidupan.
Akan tetapi pada zaman sekarang, ajaran tersebut sudah banyak dilupakan. Padahal ajaran-ajaran tersebut adalah ciri kepribadian bangsa. Seharusnya, ajaran-ajaran tersebut tetap dijaga dan dilestarikan agar tidak hilang termakan zaman. Dan seharusnya ajaran tersebut diinformasikan kepada masyarakat luas.
Disini kita akan mempelajari tentang sastra, yakni sejarah sastra Jawa. Dasar penulisan makalah ini adalah mengkaji tentang  karya sastra karangan para pejabat tinggi kerajaan pada zaman Surakarta yang berbentuk tembang atau pupuh-pupuh, dan yang di dalamnya berisi nasihat-nasihat untuk anak-anak mereka yang berada di lingkungan kerajaan.
Dalam makalah ini, sebagai awalan akan dijelaskan mengenai analisis semiotik Teeuw dalam Serat Darmawasita. Dalam analisis semiotik, nantinya akan dijelaskan tentang tiga kode yang akan dianalisis, yakni kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.
Pada akhirnya, dari sedikit pengetahuan ini kita bisa membuka pikiran kita sehingga lebih mudah dalam memahami sastra.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana analisis semiotik A. Teeuw (kode bahasa, kode budaya, kode sastra) dalam Serat Darmawasita?

C.    Tujuan
Mengetahui analisis semiotik A. Teeuw (kode bahasa, kode budaya, kode sastra) dalam Serat Darmawasita?

























BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka
            Dalam analisis ini, penulis menggunakan teori strukturalisme semiotik A. Teeuw yang membagi beberapa simbol menjadi tiga sistem kode antara lain kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Dengan menggunakan teori ini penulis dapat menelusuri ajaran yang terkandung dalam Serat Darmawasita karya Mangkunegaran IV. Jadi, dengan analisis ini bisa mengetahui makna semiotik Serat Darmawasita.

B. Landasan Teori
            Secara etimologi, Darma berarti ayah, Wasita berarti ajaran. Jadi bisa dikatakan, Darma Wasita adalah  ajaran untuk anak. Intisari dari ajaran Darma wasita antara lain :
1). Ajaran agar hidup sukses;
2). Ajaran agar menjadi abdi yang baik; dan
3). Ajaran agar menjadi istri yang baik.
Teeuw (1983 : 12) mengatakan bahwa proses membaca, yaitu memberi makna pada sebuah teks tertentu, yang kita pilih, atau yang dipaksakan kepada kita (dalam pengajaran misalnya) adalah proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam.
Dalam pemahaman makna atau pemberian makna pada suatu teks bacaan, kita harus menguasai tiga kode, antara lain :
1.      Kode Bahasa
Kode pertama yang harus dikuasai jika ingin mampu memberi makna pada teks tertentu adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks itu. Kode bahasa dapat dilihat dari tata bahasa dan kosakata yang digunakan penulis / pengarang.
 
2.      Kode Budaya
Kode budaya sangat penting dalam proses pemberian makna pada suatu teks. Sebab, jika seseorang tidak tahu latar belakang atau kode budaya dari teks tersebut, maka pembaca pasti hanya akan diam dan tidak menanggapi ketika mendengar isi teks tersebut, meskipun kata-kata yang dipakai sudah mereka pahami. Kode budaya dalam suatu karya sastra itu, berisi penjelasan tentang keadaan zaman pada saat karya sastra tersebut ditulis. Kode budaya dapat dilihat secara eksplisit maupun implisit dalam suatu teks.
3.      Kode Sastra
Di samping kode budaya, kode sastra juga penting dalam pemberian makna suatu teks. Bahkan kode sastra itu lebih khas. Antara kode sastra dan kode budaya seringkali tidak dapat dipisahkan, akan tetapi pada prinsipnya, kita harus mampu membedakan keduanya. Dalam kode sastra, pembaca harus memberi makna secara penuh pada urutan kata, pilihan kata, struktur kalimat, pemakaian bunyi dan unsur tata bahasa.
Dari ketiga pokok bahasan di atas, kita dapat dikatakan bahwa untuk memahami suatu karya sastra, pembaca harus menguasai beberapa sistem kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.










BAB III
PEMBAHASAN

Dalam menganalisis simbol dan makna Serat Darmawasita, digunakan teori semiotik A. Teeuw yang membagi beberapa sistem kode menjadi tiga, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.

A.    Kode Bahasa dalam Serat Darmawasita
Kode pertama yang harus dikuasai jika ingin mampu memberi makna pada teks tertentu adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks itu. Kode bahasa dapat dilihat dari tata bahasa dan kosakata yang digunakan penulis / pengarang. 
Kode bahasa dalam Serat Darmawasita menggunakan beberapa istilah dalam penyebutan nama
mrih sarkara pamardining siwi
winursita dènira manitra
nujwari Salasa Wage
tri wêlas sasi Mulud
kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa
sariranta iku
mring iki wasitaningwang
marang sira putrèngsun jalu lan èstri
 muga padha ngèstokna
(Dhandhanggula bait ke-1)

dudu pangkat dudu turun
dudu brana lawan warni
ugêre wong palakrama
wruhanta dhuh anak mami
(Kinanthi bait ke-5)      
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Darmawasita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan anakku dengan nama lain putrengsun dan anak mami. Dalam bahasa Jawa putrengsun bermakna anakku; anak mami merupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna anakku. Jadi, putrengsun dan anak mami memiliki satu arti yaitu anakku.

wong rumêksa dunungipun
sabarang darbèking laki
miwah sariraning priya
kang wajib sira kawruhi
wujud warna cacahira
êndi bubuhaning èstri      
(Kinanthi bait ke-8)

gana-gini ekral kang jagèni
saduman wong wadon
kang rong duman wong lanang kang darbe
lamun duwe anak jalu èstri
bapa kang ngwènèhi
sandhang panganipun
(Mijil bait ke 10)          

iku lagi tampanana nuli
kang nastiti batos
tinulisan apa saanane
tadhah putra sêlir santanabdi
miwah rajatadi
kagunganing kakung
(Mijil bait ke-13)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Darmawasita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan seorang laki-laki dengan nama lain laki, priya, jalu, kakung. Dalam bahasa Jawa laki bermakna wong lanang; priya bermakna pria; jalu merupakan bahasa Jawa kuna yang berarti laki-laki; dan kakung dalam bahasa Jawa berarti laki-laki. Jadi, laki, priya, jalu dan kakung memiliki satu arti yaitu laki-laki.

awit wruha kukume jêng nabi
kalamun wong wadon
ora wênang andhaku darbèkke
priya lamun durung dèn lilani
mangkono wong laki
tan wênang andhaku
(Mijil bait ke-7)

gana-gini ekral kang jagèni
saduman wong wadon
kang rong duman wong lanang kang darbe
lamun duwe anak jalu èstri
bapa kang ngwènèhi
sandhang panganipun
(Mijil bait ke 10)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Darmawasita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan seorang wanita dengan nama lain wadon dan estri. Dalam bahasa Jawa wadon bermakna wanita; estri bermakna wanita. Jadi, wadon dan estri memiliki satu arti yaitu wanita.
                                       
yeka môngka srananing dumadi
tumanduke marang saniskara
manungsa apa kajate
sinêmbadan sakayun
yèn dumunung mring wolung warni
ingaran asthagina
iku têgêsipun                         
wolung pedah tumrapira
marang janma margane mrih sandhang bukti
kang dhingin winicara
(Dhandhanggula bait ke-3)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Darmawasita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan manusia dengan nama lain manungsa dan janma. Dalam bahasa Jawa manungsa bermakna manusia; janma merupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna manusia. Jadi, manungsa dan janma memiliki satu arti yaitu manusia.


B.     Kode Budaya dalam Serat Darmawasita
Kode budaya sangat penting dalam proses pemberian makna pada suatu teks. Sebab, jika seseorang tidak tahu latar belakang atau kode budaya dari teks tersebut, maka pembaca pasti hanya akan diam dan tidak menanggapi ketika mendengar isi teks tersebut, meskipun kata-kata yang dipakai sudah mereka pahami. Kode budaya dalam suatu karya sastra itu, berisi penjelasan tentang keadaan zaman pada saat karya sastra tersebut ditulis. Kode budaya dapat dilihat secara eksplisit maupun implisit dalam suatu teks.
mrih sarkara pamardining siwi
winursita dènira manitra
nujwari Salasa Wage
tri wêlas sasi Mulud
kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa
sariranta iku
 mring iki wasitaningwang
marang sira putrèngsun jalu lan èstri
muga padha ngèstokna
(Dhandhanggula bait ke-1)
Pupuh tersebut menunjukkan masa dibuatnya Serat Darmawasita, yakni ketika hari Selasa Wage, tanggal 13, bulan Maulud tahun Dal. Serat itu dibuat pada zaman Surakarta, ketika masih dijajah Belanda, dan serat itu dibuat hanya untuk kalangan keraton waktu itu.
C.     Kode Sastra dalam Serat Darmawasita
Di samping kode budaya, kode sastra juga penting dalam pemberian makna suatu teks. Bahkan kode sastra itu lebih khas. Antara kode sastra dan kode budaya seringkali tidak dapat dipisahkan, akan tetapi pada prinsipnya, kita harus mampu membedakan keduanya. Dalam kode sastra, pembaca harus memberi makna secara penuh pada urutan kata, pilihan kata, struktur kalimat, pemakaian bunyi dan unsur tata bahasa.
Kode sastra dalam Serat Darmawasita adalah sebagai petunjuk sasmitaning tembang dalam tembang macapat yang mempunyai arti menunjukkan jenis tembang yang sudah ditetapkan.
mrih sarkara pamardining siwi
winursita dènira manitra
nujwari Salasa Wage
tri wêlas sasi Mulud
kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa
sariranta iku
mring iki wasitaningwang
marang sira putrèngsun jalu lan èstri
muga padha ngèstokna
(Dhandhanggula bait ke-1)
Kata sarkara pada awal bait tembang Dhandhanggula dalam Serat Darmawasita di atas bermakna gula, yang menunjukkan bahwa pupuh tersebut adalah pupuh Dhandhanggula.
pêpuntone gonira dumadi
ngugêmana mring catur upaya
mrih tan bingung pamundhine
kang dhingin wêkas ingsun
anirua marang kang bêcik
kapindho anuruta
mring kang bênêr iku
katri gugua kang nyata
kaping pate miliha ingkang pakolih
dadi kanthi nèng donya
(Dhandhanggula bait ke-12)
Kata kanthi dalam bait terakhir pupuh Dhandhanggula tersebut merupakan sasmitaning tembang dalam Serat Darmawasita, sebagai tanda bahwa dari tembang dhandhanggula akan berpindah ke tembang Kinanthi.
basa wadi wantahipun
solah bawa kapiningit
yèn kalair dadya ala
saru tuwin anglingsêmi
marma sira dèn abisa
nyimpên wadi ywa kawijil
(Kinanthi bait ke-10)
Kata kawijil dalam bait terakhir pupuh Kinanthi tersebut merupakan sasmitaning tembang dalam Serat Darmawasita, sebagai tanda bahwa dari tembang Kinanthi akan berpindah ke tembang Mijil.











BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Dari analisis semiotik dalam Serat Darmawasita, dapat disimpulkan bahwa di dalamnya terdapat beberapa sistem kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.
Kode bahasa dalam Serat Darmawasita antara lain pada kata putrengsun dan anak mami; laki, priya, lanang, jalu, dan kakung; wadon dan estri; manungsa dan janma. Terdapat penyebutan nama lain dari suatu benda atau nama orang.
Kode budaya dalam Serat Darmawasita antara lain penyebutan nama tahun ketika serat itu dibuat yakni hari Selasa Wage, tanggal 13, bulan Maulud, tahun Dal. Yakni pada zaman Surakarta, pada saat masih dijajah oleh Belanda.
Kode sastra dalam Serat Darmawasita antara lain terdapatnya sasmitaning tembang dalam pupuh-pupuh Dhandhanggula, Kinanthi, dan Mijil.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.











DAFTAR PUSTAKA
Teeuw, A..1991.Membaca dan Menilai Sastra.Jakarta:PT. Gramedia Pustaka   Utama.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Bausastra Jawa. Batavia : T.B. Wolters Uitgevers Maatscappichappij N.V. Groningen.
Hasan, Fuad. 1993. Catatan Perihal Sastra dalam Pendidikan. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.















LAMPIRAN



Serat Darmawasita karya Mangkunegaran IV
1. Dhandhanggula
1. mrih sarkara pamardining siwi, winursita dènira manitra, nujwari Salasa Wage, tri wêlas sasi Mulud, kasanga Dal sangkalèng warsi, winêling anêngaa, sariranta iku, mring iki wasitaningwang, marang sira putrèngsun jalu lan èstri, muga padha ngèstokna.
2. rèhne sira wus diwasa sami, sumurupa lakoning agêsang, sun tuturi kamulane, manungsa èstri jalu, pêpantaran dènnya dumadi , nèng donya nut agama , jalu èstri dhaup, môngka kanthining agêsang, lawan kinèn marsudi dawakkên wiji, ginawan budidaya.
3. yeka môngka srananing dumadi, tumanduke marang saniskara, manungsa apa kajate, sinêmbadan sakayun, yèn dumunung mring wolung warni, ingaran asthagina, iku têgêsipun, wolung pedah tumrapira, marang janma margane mrih sandhang bukti, kang dhingin winicara.
4. panggaotan gêlaring pambudi, warna-warna sakaconggahira, nut ing jaman kalakone, rigên ping kalihipun, dadi pamrih marang pakolih, katri gêmi garapnya, margane mrih cukup, papat nastiti papriksa, iku dadi margane wêruh ing pasthi, lima wruh etung ika.
5. watêk adoh mring butuh saari, kaping nênêm tabêri têtanya, ngundhakkên marang kawruhe, ping pitu nyêgah kayun, pêpenginan kang tanpa kardi, tan boros marang arta, sugih watêkipun, ping wolu nêmên ing sêja, watêkira sarwa glis ingkang kinapti, yèn bisa kang mangkana .
6. angêdohkên durtaning kang ati, anyêdhakkên rahayuning badan, dèn andêl mring sêsamane, lan malih wêkas ingsun, aja tuman utang lan silih, anyudakkên darajat, camah wêkasipun , kasoran prabawanira, mring kang potang lawan kang sira silihi, nyatane angrêrêpa .
7. luwih lara-laraning kang ati, ora kaya wong tininggal arta, kang wus ilang piandêle, lipure mung yèn turu, lamun tangi sungkawa malih, yaiku ukumira, wong nglirwakkên tuduh, ingkang aran budidaya, têmah papa asor dènira dumadi, tan amor lan sêsama.
8. kaduwunge saya angranuhi, sanalika kadi suduk jiwa, èngêt mring kaluputane, yèn kêna putraningsun, aja kadi kang wus winuni, dupèh wus darbe sira, panci pancèn cukup, bêcik linawan gaota, kang supaya kayumananing dumadi , manulak mring sangsaya.
9. rambah malih warsitaning siwi, kawikana patraping agêsang, kang kanggo ing salawase, manising netya luruh, angêdohkên mring salah tampi, wong kang trapsilèng tata, tan agawe rêngu, wicara lus kang mardawa, iku datan kasêndhu marang sêsami, wong kang rumakêt ika.
10. karya rêsêp mring rewange linggih, wong kang manut mring caraning bôngsa, watêk jêmbar pasabane, wong andhap asor iku, yêkti olèh panganggêp bêcik, wong mênêng iku nyata, nèng jaban pakewuh, wong prasaja solahira, iku ora gawe ewa kang ningali, wong nganggo têpanira.
11. angêdohkên mring dosa sayêkti, wong kang èngêt iku watêkira, adoh marang bilaine, mangkana sulangipun, wong kang amrih arjaning dhiri, yèku pangulahira, batin ugêripun, ing lair grêbaning basa, yeka aran kalakuan ingkang bêcik, margane mring utama.
12. pêpuntone gonira dumadi, ngugêmana mring catur upaya, mrih tan bingung pamundhine, kang dhingin wêkas ingsun, anirua marang kang bêcik, kapindho anuruta, mring kang bênêr iku, katri gugua kang nyata, kaping pate miliha ingkang pakolih, dadi kanthi nèng donya.

2. Kinanthi
1. dene wulang kang dumunung, pasuwitan jalu èstri, lamun srêgêp watêkira, tan karya gêla kang nuding, pêthêl iku datan dadya, jalaran duka sayêkti.
2. têgên iku watêkipun, akarya lêga kang nuding,
wêkêl marganing pitaya, dene ta pangati-ati, angêdohkên kaluputan, iku margane lêstari.
3. lawan malih wulangipun, margane wong kanggêp nglaki, dudu guna japa môntra, pèlèt dhuyung sarat dhêsthi, dumunung nèng patrapira , kadi kang winahya iki.
4. wong wadon kalamun manut, yêkti rinêmênan nglaki, miturut marganing wêlas, mituhu marganing asih, mantêp marganirèng trêsna, yèn têmên dèn andêl nglaki.
5. dudu pangkat dudu turun , dudu brana lawan warni, ugêre wong palakrama, wruhanta dhuh anak mami,
mung nurut nyondhongi karsa, rumêksa kalayan wadi .
6. basa nurut karêpipun, apa sapakoning laki, ingkang wajib linêksanan , tan suwala lan baribin, lêjaring netya sarônta, tur rampung tan pindho kardi.
7. dene condhong têgêsipun, ngrujuki karsaning laki, saniskara solahbawa, tan nyatur nyampah maoni, apa kang lagi rinênan, opènana kang gumati.
8. wong rumêksa dunungipun, sabarang darbèking laki, miwah sariraning priya, kang wajib sira kawruhi, wujud warna cacahira, êndi bubuhaning èstri.
9. wruha sangkan paranipun, pangrumate dèn nastiti, apadene guna kaya, tumanjane dèn patitis, karana bangsaning arta, iku jiwanirèng lair.
10. basa wadi wantahipun, solah bawa kapiningit, yèn kalair dadya ala, saru tuwin anglingsêmi, marma sira dèn abisa, nyimpên wadi ywa kawijil .

3. Mijil       
1. wulang èstri kang wus palakrami, lamun pinitados, amêngkoni mring bale-wismane, among putra maru sêntanabdi, dèn angati-ati, ing sadurungipun.
2. tinampanan waspadakna dhingin, solahbawaning wong, ingkang bakal winêngku dhèwèke, miwah watak pambêkane sami, sinuksma ing batin, sarta dipun wanuh.
3. lan takona padatan ingkang wis, caraning lêlakon, miwah apa saru-sêsikune, sêsirikan kang tan dèn rêmêni, rungokêna dhingin, dadi tan pakewuh.
4. tumrap irèh pamanduming wanci, tatane ing kono, umatura dhingin mring priyane, yèn panuju ana ing asêpi, ywa kongsi baribin, saru yèn rinungu.
5. bokmanawa lingsêm têmah runtik, dadi tanpantuk don.
dene lamun ingulap netyane, datan rêngu lilih ing panggalih, banjurna dera ngling , lawan têmbung alus.
6. anyuwuna wulang wêwalêring, gonira lêlados, lawan êndi kang dèn wênangake, marang sira wajibing pawèstri, anggonên salami, dimèn aja padu.
7. awit wruha kukume jêng nabi, kalamun wong wadon, ora wênang andhaku darbèkke, priya lamun durung dèn lilani, mangkono wong laki, tan wênang andhaku.
8. mring gawane wong wadon kang asli, tan kêna dèn êmor, lamun durung ana palilahe, yèn sajroning salaki sarabi,
wimbuh rajatadi, iku jênêngipun.
9. gana-gini padha andarbèni, lanang lawan wadon, wit sangkane sôngka sakarone, nging wêwênang isih anèng laki, marma ywa gêgampil, rajatadi mau.
10. gana-gini ekral kang jagèni, saduman wong wadon, kang rong duman wong lanang kang darbe, lamun duwe anak jalu èstri, bapa kang ngwènèhi, sandhang panganipun.
11. pama pêgat mati tuwin urip, gonira jêjodhon, iku ora sun tutur kukume, wêwênange ana ing surambi, ing mêngko balèni, tutur ingsun mau .
12. yèn wus sira winulang winêling, wêwalêre condhong, lan priyanta ing bab pamêngkune , bale-wisma putra maru abdi, lawan rajatadi, miwah kayanipun.
13. iku lagi tampanana nuli, kang nastiti batos, tinulisan apa saanane, tadhah putra sêlir santanabdi, miwah rajatadi, kagunganing kakung.
14. yèn wus slêsih gonira nampani, sarta wis waspaos, aturêna layang pratelane, mring priyanta paran ingkang kapti, ngêntènana malih, mring pangatagipun .
15. kang supaya aja dèn arani, wong wadon sumanggoh,
bokmanawa gêla ing batine, bêcik apa ginrayangan melik, mring kayaning laki, tan yogya satuhu.
16. ing sanadyan lakinira bêcik, momong mring wong wadon, wekanana kang mrina liyane, jêr manungsa datan nunggil kapti, ana ala bêcik, ing panêmunipun.
17. lamun kinèn banjur ambawani, ywa age rumêngkoh, lulusêna lir mau-maune, aja nyuda aja amuwuhi, tampanana batin , ngajarna awakmu.
18. êndi ingkang pinitayan nguni, amêngku ing kono, lêstarèkna ywa lirip atine, slondhohana lêlipurên ing sih,
mrih trimaning ati, kêna sira tantun.
19. yèn wus cakêp acakup pikiring , wong sajroning kono, lawan uwis mêtu piandêle, marang sira ora walangati, iku sira lagi, ngêtrap pranatanmu.
20. wêwatone nyôngga sandhang bukti, nganakkên kaprabon, jalu èstri sapangkat-pangkate, iku saking pamêtu sêsasi, utawa sawarsi, pira gunggungipun.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar