Rabu, 02 Juli 2014

KRITIK SASTRA



unnes.jpg
KRITISI KEPUSTAKAAN JAWA
Guna Memenuhi Tugas Mid Semester Genap Mata Kuliah Sejarah Sastra Jawa

Dosen Pengampu
Drs. Sukadaryanto, M.Hum.

Oleh
Silvia Oti Nugraheni
2601411004 / 2011
                                                            Rombel 01                        

Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
I.      KITAB-KITAB JAWA KUNO YANG GOLONGAN TUA
Tulisan-tulisan pada batu, tembaga, atau emas semuanya hanya memuat soal-soal yang ringkas saja. Kalau yang agak panjang semisal cerita-cerita atau pelajaran-pelajaran dan peraturan-peraturan jika ditulis pada tembaga, maka pasti akan membutuhkan banyak lembaran, banyak ongkos, dan juga kurang praktis jika dibawa kemana-mana.
Kitab-kitab jawa kuno tersebut antara lain :
1.      Kitab Canda-Karana
Kitab ini ditulis pada daun tal (daun siwalan), yang berisi pelajaran tembang (nyanyian) dan serupa isi kamus yang tersusun secara Indu. Kitab ini mirip dengan Kitab Dasanama. Kitab ini disebut kitab tua karena di dalamnya disebutkan nama seorang raja keturunan Syailendra yang mendirikan Candi Kalasan, kira-kira tahun 700 Saka. Kitab ini adalah kitab yang tertua.
            Karena kitab ini ditulis pada daun tal, jadinya tidak bisa bertahan berates-ratus tahun. Akan tetapi, karene kitab tersebut terus saja disalin, maka sampai sekarangpun masih ada tulisan-tulisannya.
2.      Kitab Ramayana
Kitab ini berbentuk tembang. Menurut penyelidikan, kitab ini dibuat pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung, raja agung yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur kira-kira pada tahun 820-832 Saka. Penyelidikan tersebut selain berdasarkan perbandingan bahasa, tetapi juga berdasar perbandingan denagn tulisan-tulisan pada batu dan tembaga yang terdapat di tanah Jawa.
            Kitab Ramayana ini mengisahkan kehidupan Prabu Rama, meniru kitab Ramayana Indu gubahan sang Walmiki. Akan tetapi, apabila dibandingkan satu sama lain, maka kitab ini tergolong kitab yang sangat pendek. 
            Ada beberapa cendekiawan yang memetik beberapa kalimat dari kitab Ramayana Jawa-Kuno, yakni seorang cendekiawan Indu bernama Himansu Bhusan Sarkar yang mengarang kitab Indian Influence on the Litterature of Java and Bali; kemudian cendekiawan lain bernama Manomohan Ghosh dan petikan itu kedapatan cocok dengan kitab Rawanawadha yang menceritakan matinya Dasamuka gubahan pujangga Indu bernama Bhattikawya. Bahkan Manomahan Ghosh pun menetapkan bahwa pengarang Ramayana iu sangat paham akan Sansekerta. Jadi, keterangan para cendekiawan Belanda yang menyatakan bahwa pengarang Ramayana itu tidak tahu bahasa Sansekerta, adalah omong kosong.
            Menurut kitab Saridin, yang mengarang kitab Ramayana Jawa-Kuno itu adalah seorang pujangga bernama Empu Pujwa, pada masa pemerintahan raja Dendrajana di negeri Mamenang. Dan itu hanyalah isapan jempol belaka. Sedangkan menurut ceritera di Bali, pengarang kitab Ramayana adalah Empu Yogiswara pada tahun 1016 Saka. Akan tetapi sebenarnya mereka salah pengertian. Memang, kata Yogiswara terdapat pada akhir cerita Ramayana., tetapi kata itu bukanlah nama. Adapun kata-katanya demikian : sang jogiswara sista, sang sudjana suddha manhira huwus matja sira. Artinya : sang pendeta makin bertambah pandai, sang sudjana menjadi suci hati, bila sudah membaca ktab Ramayana ini. Teranglah , disini jogiswara bukanlah nama.
            Jadi sebenarnya kitab ini belum diketahui siapa pengarangnya. Kitab Ramayana ini sangat pelajaran yang dapat diambil dan begitu indah bahasanya. Pada tahun 1900 sudah dicetak dalam huruf Jawa oleh Prof. H. Kern. Kamus-kamus yang berwujud tafsiran sudah ada pula, buatan DR. Juynboll, bahkan sekarang sudah ada terjemahan dalam bahasa Belanda.
            Yang sangat disayangkan dalam kitab ini adalah belum adanya tafsirannya yang memuaskan.

3.      Sang Hyang Kamahayanikan
Kitab ini tidak bertembang dan ditulis dalam bahasa prosa. Di bagian belakang kitab ini, disebutkan nama raja Jawa, Empu Sendok, yang bertahta di Jawa Timur mulai tahun 851-869 Saka (929-947 M). Adapun isinya berupa pelajaran tentang agama Budha Mahayana. Sudah banyak kalimat Sansekerta yang diterjemakan dalam bentuk bahasa Jawa kuno. Kebanyakan membahas tentang susunan dewa-dewa dalam agama Mahayana yang cocok dengan penempatan raja-raja Budha dalam candi Borobudur. Kitab ini juga berguna sebagai bimbingan untuk orang bersemedi. Kitab ini sudah dicetak ke dalam huruf Latin disertai keterangan dalam bahasa Belanda dan penjelasan secukupnya oleh J. Kats.
4.      Brahmandapurana
Kitab ini ditulis dalam bahasa prosa, tidak bercirikan angka tahun dan tidak menyebutkan nama raja. Tetapi, melihat susunan bahasanya, kitab ini seumur dengan kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Bedenya, kitab Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab orang-orang beragama Budha-Mahayana, sedangkan kitab Brahmandapurana adalah kitab orang-orang beragama Siwa. Kitab ini sudah dcetak dalam huruf Latin dan diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh Prof. Gonda dengan disertai penjelasan dan penafsiran.
Kitab ini berisi tentang berbagai macam ilmu yang ditujukan untuk orang-orang beragama Siwa. Tetapi sangat disayangkan karena kata-katanya sudah banyak yang rusak.
5.      Agastyaparwa
Kitab ini ditulis dalam bahasa prosa, susunannya menyerupai susunan kitab Brahmandapurana, dan juga memuat kalimat berbahasa Sansekerta yang diterangkan dalam bahasa Jawa-Kuno. Isinya : Sang Dredhasyu bertanya pada ayahnya , bagawan Agastya, tentang apa sebabnya orang bisa naik sorga atau terjerumus ke dalam neraka; tentang bermacam-macam kejahatan dan akibatnya. Kitab ini sudah dicetak dalam huruf Latin oleh Prof. DR  J. Gonda disertai penjelasan dan tafsiran yang mendalam.
6.      Utarakanda  
Kitab ini ditulis dalam bahasa prosa dan banyak pula kalimat Sansakerta yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa Kuno. Dalam bagian permulaan juga disebutkan nama raja Dharmawangsa-teguh. Ceritanya dipetik dari Ramayana-Walmiki bagian akhir. Menurut para ahli, kitab Utarakanda ini adalah gubahan baru. Di dalamnya menceritakan berbagai hal di antaranya : adanya raksasa-raksasa, nenek moyang Dasamuka, lahirnya Dasamuka dengan sikapnya yang tidak sopan kepada para dewa serta pendeta-pendeta.  Cerita Arjunasasra-bau juga terdapat di dalamnya. Pokok cerita mengisahkan dewi Sinta yang ketika itu kembali ke Ngayodya, timbul rasa kurang senang di kalangan rakyatnya. Mereka berpendapat, “ sudah sekian lamanya tinggal dengan musuh, mengapa masih tetap diterima disini.” Karena Rama mengikuti kemauan rakyatnya, maka Rama menceraikan Sinta dan mengusirnya, padahal saat itu Sinta sedang hamil. Dalam pertapaannya yang dalam keadaan serba menyedihkan, Sinta melahirkan anak kembarnya yang diberi nama Kusa dan Lawa. Merekalah yang kemudian diberi pelajaran oleh sang Walmiki tentang kehidupan ayahnya, Prabu Rama, yang kemudian tersusun menjadi kitab Ramayana. Suatu hari, Ketika Sinta dipanggil kembali ke istana, tiba-tiba bumi retak dan Sinta terperosok ke dalamnya, dan tanah tertutup kembali. Maka matilah Sinta. Tak lama setelah itu, Prabu Ramapun mati merana.
Uttarakanda  tidak termasuk alam sastra parwa. Bukan versi dari  salah satu parwa yang jumlahnya ada 18 parwa yang meliputi epos Mahabharata, melainkan suatu vrsi mengenai bagian akhir dari epos Ramayana yang terdiri dari tujuh kanda. (Zoetmulder, 1974 : 97)


7.      Adiparwa
Dalam kitab ini disebutkan nama raja Prabu Dharmawangsa-teguh, sama seperti dalam kitab Utarakanda. Kitab ini adalah bagian pertama dari cerita Mahabharata. Isinya adalah tentang peristiwa-peristiwa kelahiran. Lakon dewi Lara Amis, Bale si Gala-Gala, matinya Arimba, Burung Dewata, yang merupakan petikan dari kitab Adiparwa ini.
Kitab Adiparwa memiliki dua bagian. Bagian pertama berisikan kerangka penembang epos Bharata yakni tentang korban persembahan atas perintah raja Janamejaya dalam ritual magis guna memusnahkan para naga.  Bagian kedua berisi silsilah para Pandhawa dan Korawa. (Zoetmulder, 1974 : 80)
            Kitab ini sudah dicetak ke dalam huruf Latin.
8.      Sabhaparwa
Kitab ini berbahasa prosa dan merupakan bagian yang kedua dalam kitab Mahabharata. Kitab ini berisi cerita Pandhawa bermain dadu. Sungguh disayangkan, kata-kata dalam kitab ini sudah banyak yang rusak, atau dapat dikatakan sudah tidak mungkin lagi dikerjakan.
9.      Wirataparwa
Kitab ini juga berbahasa prosa dan merupakan bagian keempat dari kitab Mahabharata. Di dalamnya berisi cerita para Pandhawa mengabdi kepada raja Wirata, karena mereka harus bersembunyi. Apabila mereka tidak bersembunyi, mereka akan mendapatkan hukuman buang lagi selama dua belas tahun. Menurut Zoetmulder, para Pandhawa dan Dropadi terpaksa bersembunyi karena mereka kalah berjudi.
Selama di Wirata, sang Yudhistira menjadi Brahmana bernama sang Dwija Kangka, sang Wrekodara menjadi juru masak dan pendekar bernama Ballawa, sang Arjuna menjadi seorang wandu dan pekerjaannya mengajar tari dan tembang, sang Nakula menjadi gembala kuda, sang Sahadewa menjadi gembala sapi, sang Drupadi pekerjaannya membuat minyak wangi dan kasai, nama samarannya sang Sairindri. Peristiwa penting di Wirata adalah kematian patih Kicaka dan perkawinan sang Abimanyu dengan sang Utari, dalam wayang menjadi lakon jagal Abilawa. Kitab Wirataparwa itu menyebutkan nama raja Prabu Dharmawangsa-teguh dan juga memuat angka tahun 918 Saka (996 M) sekarang kitab itu sudah dicetak huruf Latin oleh DR. Juynboll.dan baru-baru ini sudah dicetak lagi disertai keterangan dalam bahasa Belanda oleh DR A.A. Fokker.
10.  Ud-jogaparwa
Kitab ini berbahasa prosa dan merupakan bagian yang kelima dari cerita Mahabharata, jadi sudah dekat dengan perang Bratayuda. Begitu disayangkan, banyak terdapat kata-kata yang sudah rusak. Jadi, hanya sebagian kecil saja yang dicetakkan ke dalam huruf Latin oleh DR. Juynboll dan disertai penjelasan dalam bahasa Belanda. Isinya beraneka ragam, tidak ada yang terambil menjadi lakon wayang kecuali lakon Kresna Gugah.
11.  Bhismaparwa
Bahasa kitab ini juga berbentuk prosa dan merupakan bagian keenam dari cerita Mahabharata, jadi sudah mulai perang Bratayuda. Disini terdapat petikan dari kitab Bhagawadgita. Kitab ini sudah diterangkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. DR. J. Gonda.
12.  Asramawasanaparwa
Kitab ini berbahasa prosa dan merupakan bagian kelima belas dari kitab Mahabharata. Isi ceritanya adalah sebagai berikut : sesudah perang Bratayuda sang Dhrestarasta diangkat menjadi raja Astina untuk limabelas tahun. Hal ini bermaksud untuk menolongnya, karena putera-puteranya serta keluarganya sudah meninggal dunia. Para Pandhawa taat padanya. Tetapi sang Bhima tidak suka pada Dhrestarasta karena teringat akan perbuatan Duryodana yang selalu membuat susah dan malu. Ketika tidak ada orang, ia selalu mengumpat-umpat Dhrestarasta. Dhrestarastapun lama-lama risih mendengar itu, maka ia memutuskan untuk pergi ke hutan dan kemudian diantar oleh para orang tua yakni arja Widura, dewi Gandari serta dewi Kunti. Selama pertapaan, Pandhawa pernah mengunjunginya, tapi tak lama kemudian ia meninggal dunia.
13.  Mosalaparwa
Berbahasa prosa dan merupakan bagian keenam belas dari kitab Mahabharata. Kitab ini berisi cerita tentang musnahnya kaum Wresni dan Yadu, yakni kaum di Negara Madura-Dwarawati; dan kisah wafanya Prabu Baladewa dan Prabu Kresna.
14.  Prasthanikaparwa
Kitab ini berbahasa prosa dan meupakan bagian ketujuh belas dari kitab Mahabharata. Kisah ceritanya : sesudah para Pandhawa menobatkan Parikesit menjadi raja Ngastina dengan bimbingan Begawan Krepa. Para Pandhawa meneruskan perjalanan mereka melalui laut. Dan datanglah Sang Hyang Agni meminta agar Arjuna melemparkan panahnya ke dalam laut. Kemudian mereka menyusuri gunung Himalaya melalui padang pasir. Di tempat itu sang Drupadi, Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Wrekodara meninggal dunia. Kemudian Batara Indra menjemput sang Yudistira akan dibawa ke dalam sorga. Akan tetapi, Yudistira ingin bertemu dengan saudara-saudaranya karena ia ingin berkumpul dengan mereka.
Kitab ini belakangan ini sudah dicetak dalam huruf Latin dan diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh DR. Juynboll. Tetapi sayang, kata-kata dalam naskah ini sudah banyak yang rusak.
15.  Swargarohanaparwa
Kitab ini juga berbahasa prosa dan merupakan bagian yang kedelapan belas dalam kitab Mahabharata (bagian penghabisan).
Kitab ini menceritakan tentang ganjaran-ganjaran yang diterima oleh para Pandhawa dan Korawa di surga ataupun di neraka. (Zoetmulder, 1974 : 95)

16.  Kuncarakarna
Kitab ini berbahasa prosa. Kitab ini dimiliki oleh orang yang beragama Budha Mahayana seperti halnya kitab Sang Hyang Kamahayanikan.

II.   KITAB-KITAB JAWA-KUNA YANG BERTEMBANG
Kitab-kitab ini tidak memakai bahasa prosa seperti kitab-kitab Jawa-Kuna yang tergolong tua. Akan tetapi kitab ini berwujud tembang. Kitab bertembang disebut juga Kakawin. Antara lain kakawin Arjunawiwaha, kakawin Kresnayana, kakawin Sumanasantaka, kakawin Smaradahana, kakawin Bhomakawya, kakawin Bharatayuddha, kakawin Hariwangsa, kakawin Gatotkacasraya, kakawin Wrettasancaya, dan kakawin Lubdhaka.
Kebanyakan dari kitab-kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam huruf Latin oleh para ahlinya. Tetapi kitab ini tidak menceritakan keadaan di tanah Jawa.

III.           KITAB-KITAB JAWA-KUNA YANG TERGOLONG BARU
Di bawah ini akan dijelaskan sedikit tentang kitab-kitab Jawa-Kuna yang tergolong baru. Kitab-kitab ini memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan kitab yang tergolong tua, yakni :
a.       Nama raja disebutkan, berhubungan dengan kitab jenis lain; misalnya tulisan batu.
b.      Hari bulan atau angka tahun.
c.       Keindahan bahasa.
d.      Kitab Jawa-Kuna yang lebih tua yang menjadi induk karangannya juga dicantumkan.
e.       Menceritakan keadaan di tanah Jawa.
Dalam kitab-kitab yang tergolong tua tidak terdapat ciri-ciri seperti nomor 4 dan 5 yang disebutkan di atas. Berikut kitab-kitab Jawa-Kuna baru yang mengacu pada kitab-kitab Jawa-Kuna yang tergolong tua :
a.       Kakawin Brahmandapurana
b.      Kakawin Kuncarakarna
c.       Kakawin Negarakretagama
d.      Kakawin Arjunawijaya
e.       Kakawin Sutasoma atau Parusada-santa
f.       Kakawin Parthayadnya
g.      Kakawin Nitisastra
h.      Kakawin Nirarthapraketa
i.        Kakawin Dharmacunya
j.        Kakawin Harisraya

IV.           TUMBUHNYA BAHASA JAWA TENGAHAN
Dalam bab ini, penulis hanya menceritakan tentang tumbuhnya bahasa.pada dasarnya yang disebut bahasa jawa Tengahan adalah bahasa yang ada di antara bahasa Jawa-Kuna dan bahasa Jawa sekarang ini. Dan bahasa Jawa Tengahan ini banyak digunakan pada saat membumbungnya kerajaan Majapahit.
Ada beberapa kitab berprosa yang ditulis dalam bahasa Jawa Tengahan, antara lain :
1.      Tantu Penggelaran
2.      Calon Arang
3.      Tantri Kamandaka
4.      Korawasrama
5.      Kitab Pararaton
Kitab-kitab tersebut di atas disajikan dalam bentuk prosa. Dan masih ada juga beberapa yang bisa dikatakan masuk dalam golongan tua, akan tetapi karena dilihat dari bahasanya ia dimasukkan dalam golongan kitab Jawa-Tengahan, yakni kitab Tantu Panggelaran.

V.   SYAIR BAHASA JAWA TENGAHAN
Syair bahasa Jawa Tengahan banyak dipakai pada jamn kerajaan Majapahit. Dan pada saat itu bahasa Jawa Tengahan sudah menjadi bahasa harian. Hanya golongan pujangga-pujangga saja yang masih menggunakan bahasa kitab-kitab. Di golongan bangsawan, bahasa Jawa-kuna sudah tidak lagi dipahami. Pemerintah yang biasanya menggunakan bahasa Jawa-kuna dalam menulis di batu atau tembaga, terpaksa menulis dengan menggunakan bahasa Jawa Tengahan. Hal itu menunjukkan bahasa umum atau bahasa Jawa Tengahan sudah menjadi bahasa pemerintah.
Dalam hal kitab bacaan, orang-orang di jaman itu sudah tidak lagi dapat membaca syair-syair dalam bahasa Jawa-Kuna. Tumbuhnya syair-syair berbahasa umum bersamaan dengan tumbuhnya tembang macapat. Belum diketahui bagaimana tumbuh dan darimana datangnya tembang macapat itu. Ada beberapa syair Jawa Tengahan yang memakai tembang gede dan tembang kawi. Tetapi syarat-syarat irama itu sudah tidak lagi dipenuhi. Orang hanya berpegang pada jumlah suku kata dalam tiap setengah suku. Kitab seperti itu yang sudah dijumpai baru dua buah kitab, yakni : kitab Dewa Ruci dan kitab Suluk Sukarsa. Akan tetapi pada saat ini, kitab Dewa Ruci dianggap sebagai kitab yang paling tua.
Kitab-kitab bahasa Jawa-Tengahan bertembang macapat yang layak dijadikan contoh adalah Kitab Sudamala, kitab ini menceritakan lakon wayang; kitab Kidung Subrata,  yang memuat hal filsafat; kitab Panji Angreni, yang di dalamnya terdapat angka-angka tahun yang berupa Sangkalan (chronogram). Menurut angka tahunnya, kitab ini tergolong muda. Akan tetapi, angka itu adalah angka dimana kitab itu disalin, kitab induknya tentu lebih tua lagi karena dilihat dari segi bahasanya; dan kitab Sri Tanjung, kitab ini sudah tergolong kitab yang masih muda. Menurut Mardianto (1996 : 119 ) bahwa bahasa Jawa-Tengahan juga digunakan dalam kidung, sedangkan tembang menggunakan bahasa Jawa Baru.

VI.           JAMAN ISLAM
Ketika itu adalah masa kejayaan kerajaan Majapahit. Diperkirakan ada satu dua orang yang menganut agama Islam yang datang dari luar. Semakin lama semakin banyak orang yang beragama Islam, tetapi tempat tinggal mereka tetaplah di daerah perdagangan pantai, misalnya Tuban, Sedayu, dan Gresik. Orang-orang yang mula-mula masuk ke agama Islam mayoritas dari kalangan rakyat jelata. Tapi, lama-kelamaan Islam merambat ke golongan intelek-intelek, bangsawan-bangsawan, dan para priyayi. Agama Islampun tersebar bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Majapahit.
Sesudah keadaan yang seperti itu, kemudian timbul kitab-kitab bahasa Jawa-Tengahan yang berisi ajaran Islam. Kitab-kitab itu sampai sekarang masih ada sisa-sisanya, antara lain :
1.      Het boek van Bonangeens, kitab ini berbahasa Jawa-Tengahan yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam kalimat-kalimatnya sedikit terpengaruh bahasa Arab, jadi susah diartikan. Dan ada juga yang berlenggang bahasa Melayu, seperti kata ana pon (adapun).
2.      Een Javaans Geschrift uit de 16eeeuw, kitab berbahasa Jawa-Tengahan yang juga berisi tentang ajaran Islam. Banyak tulisan-tulisannya yang sudah rusak.
3.      Suluk Sukarsa, kitab berbahasa Jawa-Tengahan yang bertembang cara kuno, tembang sloka, laku delapan kali delapan, dan sudah tidak berguru lagu lagi.
4.      Koja-Jajahan, berisi cerita yang mengandung pelajaran. Cerita tersebut menceritakan tentang seorang patih bernama Sang Koja-Jajahan yang amat berbakti kepada rajanya, beribadat, adil, dan bijaksana.
5.      Suluk wujil, kitab ini berisi ajaran Sunan Bonang tentang ilmu mistik kepada si Wujil, seorang bajang yang diceritakan oleh orang bekas budak Majapahit.
6.      Suluk Malang Sumirang, kitab ini dibuat oleh Sunan Panggung.
7.      Kitab Nitisruti, kitab ini terkenal ketika zaman Surakarta. Kitab ini berisi ajaran-ajaran baik.
8.      Kitab Nitipraja, hampir sama dengan Nitisruti, dan ia disebut-sebut “adik” Nitisruti.
9.      Kitab Sewaka, berisi petuah-petuah dari orang-orang yang mengabdi.
10.  Kitab Menak, berisi cerita tentang Nabi Muhammad. Adapun dalam Menak Lakat III, “Semuanya mempersembahkan salam ke hadapan Bagnda Nabi Muhammad. Demikian juga para sahabat, ksatria, mantra, dan prajurit, semuanya saling bersalam-salaman antara yang maju ke medan perang dan yang ditinggalkan di Madinah”. (Yasadipura (1982 : 234)
Dan kemudian dalam Menak Ngajrak, tidak diceritakan tentang Nabi Muhammad, tetapi tentang SangAmir. “Bersama para raja,dan seluruh bala tentaranya sudah masuk ke dalam benteng. Wong Agung segera menyuruh kakaknya, Abas untuk menulis surat. Abas sudah menuls dua pucuk surat. Satu untuk raja Kaos, satu untuk raja Medayin. ...” (Yasadipura 1982 : 129)
11.  Kitab Rengganis, diceritakan seorang pendeta bertapa di bukit Argapura. Beliau pernah menjadi seorang raja di negeri Jamineran.
12.  Kitab Manik-Maja
13.  Kitab Ambiya, menceritakan ketika Tuhan menciptakan dunia.
14.  Kitab Kanda, menceritakan tentang Nabi Adam dan putera-puteranya.
                                                                         
VII.        JAMAN SURAKARTA AWAL
Pada jaman Surakarta, perihal kepustakaan dibagi menjadi dua yakni bagian pertama yang dinamakan jaman pembangunan, dan bagian kedua yang merupakan jaman membuat karangan-karangan baru. Pembangunan itu artinya kitab-kitab yang digubah dengan tembang macapat. Sebagai contoh ialah kitab wiwaha-jarwa. Dalam kitab ini, tembang Asmarandanalah yang menjadi pengantarnya.
Kitab Wiwaha-Jarwa ini digubah oleh Sinuhun PB. III. Jika kitab ini dibandingkan dengan kitab aslinya hasilnya biasa saja. Orang-orang Jawa jaman sekarang dapat mengetahui ringkasannya dalam kitab Arjuna Wiwaha-Kawi. Tapi jika diperhatikan, ternyata penggubahnya tidak begitu mengetahui  tentang bahasa Kawi. Banyak bagian-bagian yang ditulis hanya berdasarkan dugaan, bahkan kadang-kadang ada kata yang diperkosa. Keadaan ini  disebabkan karena pada saat itu alat-alat untuk mempelajari dan menguraikan bahasa belum ada sama sekali. Hal yang membuat orang-orang kurang suka membaca kitab Wiwaha karangan P.B. III adalah karena kata-katanya selalu diulang-ulang.
Kiai Jasadipura I dan II, yakni seorang ayah dan putranya yang merupakan pembangun kepustakaan Jawa yang paling utama. Karangan-karangan yang mereka gbah hampir sama dari segi bahasa, lagu, dan waktu. Kiai Jasadipura juga menggubah kitab Arjuna-Wiwaha dan sebagai pengantar katanya ialah tembang dhandhanggula. Disamping itu, Kiai Jasadipura juga menggubah kitab Bharata-Juddha yang lebih mudah dibandingkan kitab Ramayana. Kitab Bharata-juddha lebih mendekati kitab aslinya dibandingkan dengan kitab Ramayana.
Selanjutnya, kitab-kitab yang lain antara lain : Paniti-sastra, Arjuna-sasra atau Lokapala, Darmasunya, Dewa Ruci Jarwa, Menak, Ambiya karangan Jasadipura, Tajusalatin, Cebolek, Babad Gyanti, Sasana-sunu, Wicara keras, Sinuhun P.B. IV, Kiai Sindhu-sastra, Kanjeng Pangeran Arya Kusumadilaga, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Raden Ngabehi Ranggawarsita, Paramayoga, Jitapsara, Pustaka-raja, Cemporet, Babad Prajut, dan Babad Pakepung.





DAFTAR PUSTAKA
Mardianto, Herry.1996. Sastra Jawa Modern. Jakarta:Depdikbud.
Yasadipura I.1982. Menak Lakat III. Jakarta: Depdikbud.
Yasadipura I.1982. Menak Ngajrak. Jakarta: Depdikbud
Poerbatjacara.1952. Kepustakaan Djawa. Jakarta: Djambatan.
Zoetmulder, P.J.1974. Kalangwan. Jakarta: Djambatan.
.

SEJARAH SASTRA JAWA



TEKNIK PERSAJAKAN DALAM SASTRA JAWA KUNA
1. METRUM KAKAWIN
Metrum adalah sebuah istilah dalam ilmu kesusastraan yang mendeskripsikan pola bahasa dalam sebuah baris puisi. Metrum juga bisa didefinisikan sebagai satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi. Kaidah metrum berbeda-beda antara bahasa dan tradisi. Metrum biasanya digunakan dalam kakawin atau puisi berbahasa Jawa Kuna. Metrum dapat dirumuskan sebagai berikut : sebuah bait terdiri atas empat baris sedangkan masing-masing baris meliputi jumlah suku kata yang sama, disusun menurut pola metris yang sama. Menurut pola tersebut, kuantitas setiap suku kata  – panjang pendeknya — ditentukan oleh tempatnya dalam baris beserta syarat-syaratnya; dan sebuah suku kata dianggap panjang bila mengandung semua vokal panjang, dan bila sebuah vokal pendek disusul oleh lebih dari satu konsonan. Suku kata terakhir dalam setiap baris bersifat panjang atau pendek. Aneka macam pola metrum ini dipakai dalam puisi Jawa Kuna, masing-masing dengan namanya sendiri. Biarpun satu bait yang terdiri dari empat baris dapat disebut sebuah kakawin, seperti sebuah sajak cinta yang berwujud satu bait saja, namun kebanyakan sajak yang disebut kakawin terdiri atas beberapa bait yang berturut-turut memakai metrum yang sama dan demikian merupakan sebuah pupuh, sedangkan pupuh-pupuh dibedakan menurut variasi dalam metrum. Tak ada ketentuan mengenai jumlah bait yang terkumpul dalam satu pupuh. Mengenai pemakaian metrum yang berbeda-beda, rupanya penyair bebas dalam pilihannya. Usaha-usaha untuk menghubungkan sebuah metrum tertentu dengan suatu tema tertentu tidak begitu meyakinkan. Beberapa metrum sangat digemari, sedangkan beberapa metrum lain jarang dipakai. Metrum yang sama dapat dipakai beberapa kali dalam syair yang sama, khususnya dalam syair-syair yang panjang. Pada umumnya, kakawin –kakawin memperlihatkan suatu keanekaragaman dalam pemakaian metrum.

2. ULASAN-ULASAN TENTANG METRUM
            Bila kita mempelajari puisi, kita akan menemukan beberapa segi tertentu yang bersifat prosais atau persajakan. Buku-buku pegangan dari India yang membahas bidang pengetahuan ini disebut chandahsastra         dan bukanlah kumpulan buku-buku yang membangktkan inspirasi puitis. Pengarang Jawa Kuna bernama Tanakung dalam kata pengantar bagi karyanya Wrrtasancaya mengatakan bahwa maksudnya adalah menulis sebuah buku dalam bentuk kakawin berdasarkan sebuah chandahsastra dari India, maka kita tak  bisa mengharapkan bahwa  karyanya adalah jenis puisi Jawa Kuna yang terbaik. Akan tetapi, ulasan ini memberikan sebuah pengertian mengenai hubungan antara prosodi India dan prosodi Jawa Kuna. Tanakung memberikan suatu daftar nama untuk menunjukkan macam-macam chanda dan panjangnya masing-masing, yang  chanda itu sendiri berhubungan dengan suku kata saja dan tidak dengan pola metris. Macam-macam chanda dan panjangnya :
            Ukta                1 suku kata dalam satu baris sakwari              14
            Atukta             2 suku kata dalam satu baris atisakwari          15
            Madhyama      3 suku kata dalam satu baris ast                      16
            Pratistha          4 suku kata dalam satu baris atyasti                17
            Supratistha      5 suku kata dalam satu baris dhrti                   18
            Gayatri                        6 suku kata dalam satu baris atidhrti               19
            Usnih               7 suku kata dalam satu baris krti                     20
            Anustubh        8 suku kata dalam satu baris prakrti               21
            Brhati              9 suku kata dalam satu baris akrti                   22
            Pangkti            10 suku kata dalam satu baris wikrti               23
            Tristapa           116 suku kata dalam satu baris sangskrti         24
            Jagati               12 suku kata dalam satu baris abhikrti            25
            Atijagati          13 suku kata dalam satu baris wyukrti            26

3. KOMENTAR
·         Dalam sebuah kakawin, terdapat pemakaian metrum-metrum yang berbeda. Rupanya ini dikarenakan kebebasan penyair dalam memilih. Usaha-usaha dalam proses penghubungan metrum tertentu dengan suatu tema tertentu menjadi tidak begitu meyakinkan. Jika ini terus berlanjut, maka  akan banyak ditemui  metrum yang kurang selaras dengan tema yang ditentukan.
·         Ketika seorang pengarang mengambil keputusan untuk membungkus ajarannya dalam bentuk cerita, ini sama artinya pengarang telah membebani dirinya dengan suatu tugas yang berat. Ia terikat sepenuhnya oleh tema yang dibahasnya. Ini berarti bahwa ia harus memakai metrum-metrum dalam urutan yang ditentukan, dan membuka urutan itu dengan sebuah bait yang terdiri atas empat baris yang bersifat monosilabik.
·         Meskipun kita tak  bisa mengharapkan bahwa  karya dari Tanakung adalah jenis puisi Jawa Kuna yang terbaik, tetapi ulasannya memberikan sebuah pengertian mengenai hubungan antara prosodi India dan prosodi Jawa Kuna

SASTRA PEWAYANGAN



Daftar Kitab Mahabarata Versi India
Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah Mahābhārata, yakni semenjak kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa di surga.
Nama kitab Keterangan
Adiparwa
Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi.
Sabhaparwa
Kitab Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.

Wanaparwa
Kitab Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
Wirataparwa
Kitab Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias.
Udyogaparwa
Kitab Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
Bhismaparwa
Kitab Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
Dronaparwa
Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
Karnaparwa
Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.
Salyaparwa
Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
Sauptikaparwa
Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.

Striparwa
Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.

Santiparwa
Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.

Anusasanaparwa
Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.



Aswamedhikaparwa
Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.

Asramawasikaparwa
Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.

Mosalaparwa
Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.

Mahaprastanikaparwa
Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.

Swargarohanaparwa
Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.