Jumat, 04 Juli 2014

Sastra Perbandingan (KOMPARASI SERAT WULANG WANITA DAN SERAT DARMAWASITA)



index.jpg
MAKALAH
KOMPARASI SERAT WULANG WANITA DAN SERAT DARMAWASITA
BERDASARKAN TEORI SEMIOTIK A. TEEUW
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sastra Perbandingan
Dosen Pengampu
Drs. Sukadaryanto, M. Hum

Oleh
Silvia Oti Nugraheni
2601411004
                                                                                      
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sastra Perbandingan.Semoga makalah ini dapat berguna untuk pembaca pada umumnya.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Bapak Drs. Sukadaryanto, M.Hum.dosen mata kuliah Sastra Perbandingan atas bimbingan dan pengarahan beliau selama penyusunan makalah ini, serta pihak-pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini, pada intinya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar di masa yang akan datang bisa lebih baik lagi.
                                                                               

                                                                                    Semarang, Juni 2014
                                                                                                                                                                                                                                               
                                                                                                Penulis






                                                                                           

            Sastra terus berkembang dari waktu ke waktu, diiringi dengan semakin banyaknya orang tertarik untuk mempelajari sastra. Hal itu disebabkan karena dalam sastra, orang dapat menemukan keindahan dan makna dari sebuah karya sastra, baik itu berupa puisi maupun prosa.
Banyak hal yang bisa kita kaji dalam dunia sastra maupun dari hasil karya sastra itu sendiri.Karya sastra sering kali menjadi objek penelitian bagi beberapa peneliti bahasa maupun sastra, ataupun orang awam yang ingin mengetahui lebih mendalam tentang seluk beluk sastra.
Disini kita akan membahas tentang sastra perbandingan, yakni mengkaji atau meneliti perbedaan maupun persamaan dua buah atau lebih karya sastra dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Akan tetapi, sebelum jauh mendalami sastra perbandingan, dalam makalah ini akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai analisis semiotik dalam Serat Wulang Wanita dan Serat Darmawasita. Analisis ini menjadi salah satu bagian yang ada dalam sastra perbandingan dan wajib untuk dimengerti. Dalam analisis semiotik serat Wulang Wanita dan Serat Darmawasitaini akan dijelaskan mengenai tiga kode yakni kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.
Pada akhirnya nanti, sepenggal dari pengetahuan ini akan lebih membuka pemikiran kita tentang sastra perbandingan sehingga akan mempermudah kita dalam mempelajari Sastra Perbandingan nantinya.


1.      Bagaimana analisis semiotik A. Teeuw (kode sastra, kode bahasa, dan kode budaya) dalam Serat Wulang Wanita?
2.      Bagaimana analisis semiotik A. Teeuw (kode sastra, kode bahasa, dan budaya) dalam Serat Wulang Darmawasita?
3.      Bagaimana komparasi Serat Wulang Wanita dan Serat Darmawasita?
1.      Memahami analisis semiotik A. Teeuw (kode sastra, kode bahasa, dan kode budaya) dalam Serat Wulang Wanita.
2.      Memahami analisis semiotik A. Teeuw (kode sastra, kode bahasa, dan budaya) dalam Serat Wulang Darmawasita.
3.      Memahami komparasi Serat Wulang Wanita dan Serat Darmawasita.

            Penulis berharap makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa terutama mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Jawa untuk menambah pengetahuan tentang Sastra Perbandingan dan analisis semiotik karya sastra.








            Titis Sambodo, dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Semiotik Dalam Cerita Ramayana (Kode Bahasa, Kode Sastra, Kode Budaya)” (2011 : 3), mengemukakan bahwa ada tiga buah kode yang harus dikuasai pembaca dalam memberi makna pada teks, yaitu :
1.      Kode Bahasa
Kode pertama yang harus dikuasai jika ingin mampu memberi makna pada teks tertentu adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks itu.Kode bahasa dapat dilihat dari tata bahasa dan kosakata yang digunakan penulis / pengarang.
2.      Kode Sastra
Di samping kode budaya, kode sastra juga penting dalam pemberian makna suatu teks.Bahkan kode sastra itu lebih khas. Antara kode sastra dan kode budaya seringkali tidak dapat dipisahkan, akan tetapi pada prinsipnya, kita harus mampu membedakan keduanya. Dalam kode sastra, pembaca harus memberi makna secara penuh pada urutan kata, pilihan kata, struktur kalimat, pemakaian bunyi dan unsur tata bahasa.
3.      Kode Budaya
Kode budaya sangat penting dalam proses pemberian makna pada suatu teks. Sebab, jika seseorang tidak tahu latar belakang atau kode budaya dari teks tersebut, maka pembaca pasti hanya akan diam dan tidak menanggapi ketika mendengar isi teks tersebut, meskipun kata-kata yang dipakai sudah mereka pahami. Kode budaya dalam suatu karya sastra itu, berisi penjelasan tentang keadaan zaman pada saat karya sastra tersebut ditulis.Kode budaya dapat dilihat secara eksplisit maupun implisit dalam suatu teks.
Teeuw (1983:12) mengatakan bahwa pada proses membaca, dalam hal ini memberi makna pada teks tertentu adalah proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan beraneka ragam.
Ada tiga buah kode yang harus dikuasai pembaca dalam memberi makna pada teks, yaitu sebagai berikut.
1.      Kode Bahasa
Kode bahasa dapat dilihat pada penafsiran tata bahasa dan kosakata yang dipakai oleh penulis.Kode bahasa tidak dapat berdiri sendiri.Tanpa adanya pemahaman pada latarbelakang kebudayaan masyarakat tertentu.
Pada karya sastra, bahasa sehari-hari dapat diberi makna, misalnya pada pemajasan.Pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayaanbahasa, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat (Nurgiyantoro 1994:296).
Bentuk-bentuk perbandingan (pemajasan) dalam karya sastra adalah sebagai berikut.
a.       Simile
Menurut Nurgiyantoro (1994:298), simile menyarankan pada perbandingan yang langsung dan eksplisit. Biasanya menggunakan kata-kata tugas, seperti: seperti, bagai, bagaikan, laksana, mirip, dsb.
b.      Personifikasi
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat  yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia (Nurgiyantoro 1994:299).
c.       Metafora
Nurgiyantoro (1994:299) menyatakan bahwa gaya perbandingan yang bersifat tidak langsung dan implisit.
d.      Litotes
Majas litotes adalah majas yang diguankan untuk mengecilkan kenyataan dengan tujuan untuk merendahkan hati.    
e.       Sinekdoke pars pro toto
Gaya bahasa yang tergolong gaya pertautan, mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhannya, disebut sinekdoke pars pro toto (Nurgiyantoro 1994:300).
f.       Sinekdoke totem pro parte
Nurgiyantoro (1994:300) berpendapat bahwa sinekdoke totem pro parte merupakan gaya bahasa yang mempergunakan keseluruhan untuk sebagian.
g.      Hiperbola
Hiperbola merupakan cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkannya.
h.      Sinisme
Majas yang menyatakan sindiran secara langsung.

2.      Kode Sastra
Dalam pembacaan kode sastra, pembaca harus memberi makna secara penuh pada urutan kata, pilihan kata, struktur kalimat, pemakaian bunyi dan unsur tata bahasa.Dari sekian penilaian sastra tidak dapat dipisahkan dari kode bahasa dan sastra.


Ragam atau aspek kode sastra menurut Teeuw (1983:17) :
a.       Kode sastra tidak bisa lepas dari kode bahasa
Disini, konvensi makna banyak menghalang-halangi kebebasan bergerak sehingga perlu dihilangkan agar suatu teks lebih bebas.
b.      Bahasa dianggap sebagai kawan, bukan lawan
Bahasa sehari-hari merupakan sumber kekayaan sastra yang tidak habis digali (Teeuw 1983:18). Dalam bahasa sehari-hari yang tidak bermakna, dalam sastra akan diberi makna. Sedangkan bahasa yang memiliki makna, akan memiliki makna yang luar biasa.
c.       Sistem konvensi sastra tidak hanya ditentukan oleh kemungkinan, kelonggaran, dan pembatasan yang diberikan oleh sistem bahasa itu sendiri.
Sistem konvensi bahasa menentukan sifat karya sastra.Konvensi ini diperlukan untuk pemberian makna pada karya sastra.Jadi pemahaman perkembangan sastra dan sejarah ditentukan oleh sistem konvensi sastra.
d.      Karya sastra merupakan dunia yang otonom, tidak terikat pada dunia nyata dan tidak menunjuk pada dunia nyata, kecuali melalui makna unsur bahasa yang dipakai didalamnya.
e.       Dunia rekaan yang dibangun berdasarkan tata bahasa karya sastra mempunyai relevansi dan signifikansi.
f.       Konvensi universal Truth, membicarakan masalah alur, plot sebuah tragedi.
Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mempunyai struktur yang konsisten dan koheren, dimana setiap bagian merupakan unsur esensial dan menempati tempat yang layak dan wajib.


3.      Kode Budaya
Kode budaya merupakan latarbelakang kebudayaan pada tiap teks.Pengetahuan kode budaya ini dapat dilihat secara eksplisit maupun implisit pada teks yang dibaca.
Berdasarkan paparan Teeuw, dapat disimpulkan dari ketiga kode tersebut di atas, kode bahasa, sastra, dan budaya tidak dapat dipisahkan.Untuk memahami kode budaya pada suatu karya sastra diperlukan pemahaman bahasa yang dipakai penulis.Apalagi kode sastra dan kode bahasa.Keduanya biasa disebut kode bahasa sastra yang saling terkait.
Proses membaca yang berupa pemberian makna pada sebuah teks tertentu yang kita pilih adalah proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang  cukup rumit, kompleks, dan beraneka ragam. Kode pertama yang harus kita kuasai kalau ingin mampu memberi makna pada teks tertentu adalah  kode bahasa.  Dalam teks dapat kita pahami kode bahasanya melalui tata bahasa dan kosa katanya.
Orang tidak akan tahu latar belakang atau kode budaya dari sebuah teks  kuno, walaupun dia sudah mengetahui  kata-katanya. Untuk memahami teks atau isi dari teks tersebut, tiap orang harus mampu mengetahui dan mempelajari  segala macam seluk beluk yang ada di dalam teks tersebut, dari awal sampai akhir, entah itu berupa perlambang, makna, dan seterusnya.
Kode budaya mungkin bermacam-macam, mungkin berbeda dengan kode budaya kita sendiri, atau bahkan lebih dekat dengan yang sudah biasa  bagi kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kode sastra sering kali tak mudah untuk dipisahkan dengan kode kebudayaan, tetapi pada prinsipnya harus dapat dibedakan antara kedua macam kode tersebut.Sebagai contoh, dalam serat Wedhatama, kita harus mengetahui kode tembang jawa, agar kita dapat memberi makna yang sepenuhnya.Dalam  tulisan tembang, urutan kata, diksi, struktur kalimat, kode bahasa, pemakaian bunyi, dan unsur tata bahasa tidak hanya ditentukan oleh kode bahasa, tidak pula ditentukan konvensi budaya, tetapi merupakan  kode  khas sastra jawa.
Dari ketiga pokok pikiran diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai sistem kode, baik kode bahasa, maupun kode budaya, ataupun  kode sastra.Adapun unsur berupa sajak, irama, kesejajaran, permainan makna,  permainan bunyi kata, atau segala unsur rekaan biasa kita sebut dengan sastra.
     Bahasa merupakan sarana berdwifungsi, dua fungsi yang dari segi tertentu bertentangan, walaupun begitu tidak menimbulkan kesulitan atau salah paham  bagi masyarakat awam.  Bagi para pembaca, berhadapan dengan karya sastra jauh lebih penting kode sastra itu sendiri.
Perlu ditekankan kembali, bahwa kode sastra tidak bisa lepas dari kode bahasa.Bahasa dengan segala sesuatunya adalah sesuatu yang diberikan, tidak dapat dihindari, tetapi yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.Sebuah ungkapan bahasa yang biasa cukuplah kalau efeknya sebagai pesanan tercapai. Bentuknya yang spesifik tak dihiraukan pemakai maupun pendengarnya, asal cocok dengan  maksudnya, asal sesuai dengan kode bahasa dan tidak menimbulkan salah paham, dan sering kali dalam pengutaraan bahasa sehari-hari terdapat yang berlebih –lebihan, yang redundan, sebab redudancy kelebihan membataskan kemungkinan kegagalan komunikasi.
Pemakaian bunyi menjadi tanda, mendapat fungsi menandai sesuatu, memperkuat dan membulatkan keseluruhan makna sajak ini. Tetapi tidak hanya dilaksanakan melalui sajak vokal, setiap unsur bahasa dapat bahkan harus diberi makna yang dalam bahasa sehari-hari tidak dimilikinya, seperti  urutan  kata, pemakaian morfem bahasa, irama, dan lain-lain. Dan makna kata itu sendiri pun tidak kurang dipermainkan oleh pengarang, melalui segala macam perkiasan, metafora, metonimi, dan  perumpamaan.     
Ada 2 prinsip universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra, yaitu:
a.         Prinsip ekuivalensi atau kesepadanan.
b.        Prinsip deviasi atau penyimpangan.
Dalam teori sastra, masalah sistem konvensi sastra dalam arti ini merupakan masalah pokok, sebab sistem konvensi sastra tidak hanya menentukan kemungkinan identifikasi, pengenalan, dan pemberian makna oleh pembaca, kemampuan pembaca juga melingkupi potensi untuk memahami dan menerapkan sistem sastra baru.

















Pada penelitian ini akan digunakan teknik penelitian kualitatif. Teknik kualitatif yakni teknik yang meliputi  kesatuan dari suatu penafsiran untuk menggambarkan, memecahkan kode, menerjemahkan dan memberikan makna, bukan dalam bentuk frekuensi tertentu yang menunjukkan kurang atau lebih  terhadap  terjadinya gejala  alami dalam lingkup  kehidupan sosial.
Teknik penelitian kualitatif digunakan dalam pengumpulan data dan analisa data pada tahapan suatu proyek penelitian.  Pada tahap pengumpulan data, kesatuan teknik meliputi grup (kelompok) sasaran, wawancara lebih mendalam pada individu, studi kasus, teori dasar, pelaksanaan penelitian dan observasi.
Penelitian  kualitatif seringkali tidak dapat dihubungkan  dengan sebuah pemahaman dalam penelitian sosial, di mana logika penelitian tidak luas dalam menguji  teori tentang tingkah laku manusia, tetapi  sebaliknya pengembangan suatu penghargaan untuk memotivasi bagi  masyarakat dengan apa telah dilakukannya.  Penekanan pada gaya penelitian kualitatif,  yaitu  asumsi  dalam rangka memahami perilaku manusia adalah seorang peneliti pertama kali harus memahami   masyarakat dalam dunia kehidupan mereka, karena hal itu cenderung mempengaruhi  aktivitas mereka. (Henn, 2006)
Penelitian kualitatif menggambarkan data yang berasal dari variasi yang bersumber:
·         Manusia (secara perorangan atau kelompok);
·         Organisasi atau institusi;
·         Bacaan (publikasi, termasuk yang sebenarnya);
·         Kondisi dan lingkungan (kenyataan atau perasaan dan materi sesungguhnya);
·         Obyek, hasil karya, produksi media (tertulis, visual, perasaan dan materi sesungguhnya); dan
·         Peristiwa yang terjadi (tulisan, visual, perasaan dan materi sesungguhnya).

Ada  lima ciri pokokkarakteristik metode penelitian kualitatifyaitu :

1.      Menggunakan Lingkungan Alamiah Sebagai Sumber Data
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu situasi sosial merupakan kajian utama penelitian kualitatif.Peneliti pergi ke lokasi tersebut, memahami dan mempelajari situasi.
2.      Memiliki Sifat Deskriptif Analitik
Data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk angka-angka.
3.      Penekanan Pada Proses Bukan Hasil
Data dan informasi yang diperlukan berkenaan dengan pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana untuk mengungkap proses bukan hasil suatu kegiatan.
4.      Bersifat Induktif
Penelitian kualitatif tidak dimulai dari teori, tetapi dimulai dari lapangan yakni fakta empiris.
5.      Mengutamakan makna
Makna yang diungkap berkisar pada persepsi orang mengenai suatu peristiwa.
Berdasarkan ciri tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif tidak dimulai dari teori yang dipersiapkan sebelumnya, tapi dimulai dari lapangan berdasarkan lingkungan alami. Data dan informasi lapangan ditarik makna dan konsepnya melalui pemaparan deskriptif analitik, tanpa harus menggunakan angka, karena penelitian ini lebih mengutamakan proses terjadinya suatu peristiwa dalam situasi yang alami.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara dan studi pustaka.
A.      Wawancara
Wawancara adalah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian. Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media telekomunikasi.
B.       Studi Pustaka
Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali informasi yang terjadi di masa silam.
Dalam penelitian ini sumber data yang diambil adalah :
a.    Sumber library research, yakni dengan cara membaca dan mengutip dari buku-buku kepustakaan sebagai acuan dan landasan teori yang sesuai atau ada kaitannya dengan pembahasan.
b.    Field research (penelitian lapangan) yang terdiri dari :
     1). Sumber data primer, yaitu sumber data yang memberikan informasi secara langsung tanpa perantara, yakni dengan melakukan wawancara.
          2). Sumber data sekunder, yaitu sumber pengambilan data secara tidak langsung, dalam hal ini dokumenlah yang diperlukan, seperti majalah, surat kabar, dsb.













Dalam menganalisis simbol dan makna Serat Wulang Wanita, digunakan teori atau pendekatan semiotik milik A. Teeuw yang membagi beberapa sistem kode menjadi tiga, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.
a.         Kode Bahasa dalam Serat Wulang Wanita
Kode pertama yang harus dikuasai jika ingin mampu memberi makna pada teks tertentu adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks itu.Kode bahasa dapat dilihat dari tata bahasa dan kosakata yang digunakan penulis / pengarang.
Kode bahasa dalam Serat Wulang Wanita menggunakan beberapa istilah dalam hal menyebutkan nama :
murwèng sarkara nata sung wangsit
mring sagunging wanita kang samya
winêngku marang priyane
kudu manut sakayun
ngayam-ayam karsaning laki
lêlèjêma mrih rêna | karanane iku
dadi jalaraning trêsna-
ning wong priya yayah guna lawan dhêsthi
pasthine mung elingan
(Dhandhanggula bait ke-1)

darunanirèng Hyang Maha Suci
nganakkên punang wong
jalu èstri pan padha pêrlune
wujudpriya lantaraning wiji
èstri kang madhahi
kumpul dadi wujud
(Mijil bait ke-1)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Wulang Wanita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan laki-laki dengan nama lain priya, laki danjalu. Dalam bahasa Jawa priya bermakna laki-laki; laki dan jalu merupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna laki-laki.Jadi, priya, laki dan jalu memiliki satu arti yaitu laki-laki.

aywa linglung lênglêng nora eling
lalu lina lêlabaning lara
badan tumêkèng atine
titi tan mikir wuruk         
angrêrusak budi tan wêning
sangsaya mring sarira
ras-arasên nurat
wulanging bapa lan biyang
yêkti pantês tinurut jêr iku dadi
jalaraning tumitah             
(Dhandhanggula bait ke-2)

buring carma aranipun (èlês)
ibu Sang Duryudanaji (Gêndari)
lêstarining barang karsa
angèl lamun tan ngawruhi
sasmitaning môngsakala
lalu luluh tan pakolih
(Kinanthi bait ke-11)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam Serat Wulang Wanita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan ibu dengan nama lain biyang. Biyang merupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna ibu.
                                     
murwèng sarkara nata sung wangsit
mring sagunging wanita kang samya
winêngku marang priyane
kudu manut sakayun
ngayam-ayam karsaning laki
lêlèjêma mrih rêna
karanane iku
dadi jalaraning trêsna-
ning wong priya yayah guna lawan dhêsthi
pasthine mung elingan
(Dhandhanggula bait ke-1)

nganthia wulanging ratu
kang wus mashur nguni-uni
budwèslam samya têtilar
nalar kang amrih nulari
mring budi dadine jêmbar
brêkahi mring anak rabi
(Kinanthi bait ke-1)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam Serat Wulang Wanita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan anak dengan nama lain yayah yangmerupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna anak.

aywa linglung lênglêng nora eling
lalu lina lêlabaning lara
badan tumêkèng atine
titi tan mikir wuruk
angrêrusak budi tan wêning
sangsaya mring sarira
ras-arasên nurat
wulanging bapa lan biyang
yêkti pantês tinurut jêr iku dadi
jalaraning tumitah         
(Dhandhanggula bait ke-2)

kasmaran ngungune guling
angripta kadi supêna
sêdya andugèkkên manèh
pitutur mring pra wanita
yogyane barêsiha
jro wisma myang badanipun
mrih rahabing kadang mitra
(Asmarandana bait ke-7)
                       
dhêmên wadul lir wong nglindur
doraragane mrih bêcik
cilakaning lyan sinêdya
kadya setan nunggang ilir
sabên nglilir angupaya
luputing tôngga pinikir
(Kinanthi bait ke-5)
kêri gatêl lambenipun
kalamun nora ngrasani
mring kônca mitra kêkadang
iku têtela yèn dadi
awak uwong ati setan
tan kêna dipun lambani
(Kinanthi bait ke-6)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam Serat Wulang Wanita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan badan dengan nama lain sarira, badan, raga danawak. Dalam bahasa Jawa raga, badan dan awak bermakna badan; sarira merupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna badan.Jadi, sarira, badan, raga dan awak memiliki satu arti yaitu badan.

têtêpana tartamtuning èstri
pan pinêtri wêwadining badan
dadi tartip iku rane
tartip têgêse urut
runtut titis wajibing èstri
titis bênêr têgêsnya
nêring driya iku
ywa liya mring lakinira
rah-arahênywa arda driya dèn manis
ulat wijiling sabda
(Dhandhanggula bait ke-3)

driyanira dèn têntrêm ywa gingsir
sarwa bisa wajibing wanita
mirantèni busanane
priya myang dhaharipun
ingkang dadi karêming laki
pinatut wayahira
sarapane esuk
têngange lan lingsir surya
têngah wêngi byar esuk sayoga salin
tan bosên mamrih lêjar
(Dhandhanggula bait ke-6)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam Serat Wulang Wanita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan wanita dengan nama lain estri danwanita. Dalam bahasa Jawa wanita dan estri bermakna wanita.

Bojasuguh ranirèki
krama têmbung kang mrih lêjar
tyasing tamu mrih jênake
tan age mulih dumadya
pratandhane yèn sira
sinihan sêsaminipun
janma yogya linuria
(Asmarandana bait ke-9)

mufangati lair batin
wong sinihan samèng titah
tumruntun prapta drajate
sasêdyane pan tinêkan
mangkana adatira
manungsa kang arsa luhung
sumingkir marang kanisthan
(Asmarandana bait ke-11)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam Serat Wulang Wanita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan manusia dengan nama lain janma danmanungsa. Dalam bahasa Jawa manungsa berarti manusia.Janma adalah bahasa Jawa kuna yang bermakna manusia.

angalompra tangèh wruhing bêcik
gorohumuk tur sugih carita
yaiku dadi gêlare
mrih kandêl mring lyanipun
pakantuka gone ngapusi
sire lir pokrul jendral
bisane calathu       
iku wong durjana sabda
dipun eling sakèhing manungsa sami
ywa kongsi nandhang brônta
(Dhandhanggula bait ke-13)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam Serat Wulang Wanita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan bohong dengan nama lain goroh, umuk danngapusi. Dalam bahasa Jawa goroh, umuk dan ngapusi bermakna bohong/berbohong.

dhêmên wadul lir wong nglindur
dora ragane mrih bêcik
cilakaning lyan sinêdya
kadyasetan nunggang ilir
sabên nglilir angupaya
luputing tôngga pinikir
(Kinanthi bait ke-5)      

kawêran ing gênging napsu
kêsusu tan antuk kasil
kêsliyo tyas têmah ngrêdha
kêna karêncanèng eblis
lah ta mulane wanita
dèn samya amêrak ati
(Kinanthi bait ke-19)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam Serat Wulang Wanita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan setan dengan nama lain eblis. Dalam bahasa Jawa eblisbermakna setan.

kang sinêbut pinuja-pinuji
yêktimungHyang Manon
nabi wali oliya myang rajèng
apan pantês pinuji mring janmi
sabab iku sami
kêkasihHyang Agung
(Mijil bait ke-5)

kitab saking Kuran asalnèki
Kuran sing Hyang Manon
ya ta môngsa Allah nulis dhewe
pasthinyambat manungsa kêkasih
tinrap nèng jro ngati-
ning manungsa iku
(Mijil bait ke -10)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam Serat Wulang Wanita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan Tuhan/Allah dengan nama lain Hyang Manon danHyang Agung. Keduanya merupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna Tuhan/Allah.
b.      Kode Budaya dalam Serat Wulang Wanita
                        Kode budaya sangat penting dalam proses pemberian makna pada suatu teks. Sebab, jika seseorang tidak tahu latar belakang atau kode budaya dari teks tersebut, maka pembaca pasti hanya akan diam dan tidak menanggapi ketika mendengar isi teks tersebut, meskipun kata-kata yang dipakai sudah mereka pahami. Kode budaya dalam suatu karya sastra itu, berisi penjelasan tentang keadaan zaman pada saat karya sastra tersebut ditulis.Kode budaya dapat dilihat secara eksplisit maupun implisit dalam suatu teks.
wus pinunggêl pitutur mring èstri
sêdhênge sêmono
pan kasêlan lagi mikir ponès
Rêbo Kliwon ping têlu kang sasi
ing Rabingulakir Galungan kang wuku
Pupuh tersebut menunjukkan masa dibuatnya Serat Wulang Wanita, yakni ketika hari Rebo Kliwon, tanggal 3, bulan Rabiul Akhir tahun Galungan.
c.       Kode Sastra dalam Serat Wulang Wanita
                        Di samping kode budaya, kode sastra juga penting dalam pemberian makna suatu teks.Bahkan kode sastra itu lebih khas. Antara kode sastra dan kode budaya seringkali tidak dapat dipisahkan, akan tetapi pada prinsipnya, kita harus mampu membedakan keduanya. Dalam kode sastra, pembaca harus memberi makna secara penuh pada urutan kata, pilihan kata, struktur kalimat, pemakaian bunyi dan unsur tata bahasa.
                        Kode sastra dalam Serat Wulang Wanita adalah sebagai petunjuk sasmitaning tembang dalam tembang macapat yang mempunyai arti menunjukkan jenis tembang yang sudah ditetapkan.

murwèngsarkara nata sung wangsit
mring sagunging wanita kang samya
winêngku marang priyane
kudu manut sakayun
ngayam-ayam karsaning laki
lêlèjêma mrih rêna
karanane iku             
dadi jalaraning trêsna-
ning wong priya yayah guna lawan dhêsthi
pasthine mung elingan
(Dhandhanggula bait ke-1)
Kata sarkara pada awal bait tembang Dhandhanggula dalam Serat Wulang Wanita di atas bermakna gula, yang menunjukkan bahwa pupuh tersebut adalah pupuh Dhandhanggula.

angalompra tangèh wruhing bêcik
gorohumuk tur sugih carita
yaiku dadi gêlare
mrih kandêl mring lyanipun
pakantuka gone ngapusi
sire lir pokrul jendral
bisane calathu
iku wong durjana sabda
dipun eling sakèhing manungsa sami
ywa kongsi nandhang brônta
Kata brônta(cinta, asmara) dalam bait terakhir pupuh Dhandhanggula tersebut merupakan sasmitaning tembang dalam Serat Wulang Wanita, sebagai tanda bahwa dari tembang Dhandhanggula akan berpindah ke tembang Asmarandana.

ywa lalu mandayèng laki
lali pijêr don asmara
kalimput mung suka bae
yogya sira mêmujia
sakadaring wanita          
titise dadi tan cubluk
sudibya ngungkuli bapa
(Asmarandana bait ke-1)
Kata asmara pada awal bait tembang Asmarandana dalam Serat Wulang Wanita di atas bermakna asmara atau cinta, yang menunjukkan bahwa pupuh tersebut adalah pupuh Asmarandana.
mufangati lair batin
wong sinihan samèng titah
tumruntun prapta drajate
sasêdyane pan tinêkan
mangkana adatira
manungsa kang arsa luhung
sumingkir marang kanisthan
Kata kanisthan dalam bait terakhir pupuh Asmarandana tersebut merupakan sasmitaning tembang dalam Serat Wulang Wanita, sebagai tanda bahwa dari tembang Asmarandanaakan berpindah ke tembang Kinanthi

nganthia wulanging ratu
kang wus mashur nguni-uni
budwèslam samya têtilar
nalar kang amrih nulari
mring budi dadine jêmbar
brêkahi mring anak rabi
(Kinanthi bait ke-1)
Kata nganthia pada awal bait tembang Kinanthi dalam Serat Wulang Wanita di atas bermakna sampailah/tibalah, yang menunjukkan bahwa pupuh tersebut adalah pupuh Kinanthi.
kancana kang mungbau (gêlang)
ayam kang kêkuncung Gusti (mêrak)
gêgulangên sabên dina
mrak ati muna lan muni
tur dadi sukaning driya
lumunturing sih kawijil
(Kinanthi bait ke-14)
Kata kawijil dalam bait terakhir pupuh Kinanthi tersebut merupakan sasmitaning tembang dalam Serat Wulang Wanita, sebagai tanda bahwa dari tembang Kinanthiakan berpindah ke tembang Mijil.

kang môngsastha Kunthara warsa Lip
sangkala rinaos
kawilêting kawi wangsalane
yitmèng praja cipta kang kawijil
kangjêng sri bupati            
karsa amanawung
(Mijil bait ke-14)
Kata kawijil pada bait tembang Kinanthi dalam Serat Wulang Wanita di atas bermakna keluar/mijil, yang menunjukkan bahwa pupuh tersebut adalah pupuh Mijil.



Kandungan Serat Wulang Wanita :
Nasihat untuk para wanita :
·       Wanita harus patuh kepada suami seumur hidupnya untuk mendapatkan ridho dari sang suami, yakni dengan selalu menyenangkan hati suami karenahal itu adalah kunci kebahagiaan.
·       Wanita harus selalu eling (ingat), tidak boleh linglung (berusaha mengingat tapi tak ingat) yang berakibat hilangnya kasih sayang. Akan timbul rasa sakit dari badan sampai ke hati karena perkataan yang diucapkan tanpa berpikir yang bisa merusak budi. Selain itu, juga bisa menimbulkan sikap tidak patuh kepada orang tua.
·       Wanita harus pandai menjaga rahasia. Hal itu dinamakan tartib, yang artinya runtut. Runtutnya kewajiban wanita, yakni yang titis tujuan hatinya yang tidak lain adalah kepada suami.  Berniatlah untuk tidak mementingkan nafsu, berikanlah perlakuan dan tutur kata yang manis.
·       Jadi untuk patuh kepada suami, para wanita harus nurut dan berhati-hati terhadap kemauan suami. Bersopan santunlah kepada suami agar dikasihi Tuhan dan agar dijauhkan dari kesedihan. Para wanita harus membuat suaminya bahagia ketika melihat sang istri, tidak mengecewakan hati suami, dan jangan sampai suami berubah sikap.
·       Dan merupakan kewajiban seorang istri menyiapkan pakaian dan makanan untuk sang suami agar suami kagum terhadap sang istri. Dan hal-hal baik itu akan ditiru oleh anak-anakmu nantinya. Menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam. Dan ketika pagi sang suami tidak merasakan kebosanan terhadap istri. Hal tersebut akan menjadikan ketentraman dan kenyamanan dalam rumah tangga yang akan mendatangkan keberuntungan. Wanita juga harus bisa merawat badan dengan rajin membersihkan diri untuk menggugah hati suami.
·       Kebanyakan wanita yang besar nafsunya, sempit budinya karena suka ketika dipuji.Meskipun harus membayar dukun untuk mempercantik diri dan agar suami bisa nurut kepada istri tanpa pertimbangan. Maka dari itu, saat ini semakin banyak wanita ketika hari ke tujuh (dina apes) setelah menikah dia sudah merasa bebas. Dia sering meminta uang lebih untuk membeli pakaian (senang belanja), yang bisa membuat kasih sayang suaminya berkurang, badan lelah hati susah, dan kemarahan suami yang tidak terkontrol. Hal tersebut mampu membuat dia tiba-tiba menjadi kurus.
·       Itulah akibatnya, “maju ewuh mundur wirang” (buah simalakama). Sudah menjadi watak seorang perempuan jika sedang kesusahan pasti akan bercerita kepada orang tuanya. Dia lupa alasan hidup, hanya memikirkan sukanya tanpa memikirkan tujuan dari itu semua. Jika dipanggil, mengulur waktu, akan tetapi jika bertengkar, dia selalu berusaha menang. Wahai wanita, rendahkanlah hatimu, agar bisa menjadi panutan untuk putramu. Tidak wajar jika hal yang tidak baik ditularkan kepada anak. Anak itu tidak akan ada harga dirinya ketika sudah ditinggal orang tuanya nanti. Tak ada yang mau menghargai dia. Hidupnya terkatung-katung, dibilang keturunan orang rendahan, dan martabatnya dipandang rendah orang lain. Mustahil jika dia mengetahui hal-hal kebaikan. Hal yang dia tahu adalah berbohong dan banyak bicara, dan itu akan menjadi julukannya. Dia tidak akan dipercaya orang lain. Kebohongannya akan diingat-ingat orang dan jangan sampai merasakan kesedihan karena hal tersebut.
·       Selanjutnya, wanita jangan dengan sengaja membuat supaya suami lupa dan berusaha membuat suami selalu jatuh cinta kepada kita dengan membuat dia tidak sadar akan segala sesuatu (guna-guna). Lebih baik sadarlah, janganlah menjadi wanita bodoh. Orang hidup itu harus selalu melangkah, pelan dan tanpa kecurangan, dan bisa tiba sesuka hatimu. Agar kamu tidak merasakan kesusahan, berbeda dengan orang yang terburu-buru, lama-lama dia akan hancur (sirna) tanpa sebab.Seorang istri itu wajib mengetahui budi suaminya, supaya tidak berpisah. Siapa tahu akan semakin bertambah kasih sayangnya kepada kita.
·       Nasihat untuk para wanita, jagalah kebersihan rumah dan kebersihan badan ketika menyambut saudara atau teman yang datang bertamu. Berilah mereka pasugatan dan buatlah mereka krasan bercengkerama ketika berada disana. Wanita harus tahu bagaimana berperilaku ketika menyambut tamu yakni dengan memberi mereka suguhan makanan. Bertutur kata yang baik agar tamu merasa betah dan tidak terburu-buru pulang. Itu pertanda bahwa kita bisa menghargai orang lain. Manusia yang bisa menghargai orang lain akan dikasihi Tuhan sampai hari kiamat, dan bisa memberikan manfaat lahir batin. Selain itu, akan ditinggikan derajatnya dan dijauhkan dari kejahatan.
·       Kita harus patuh dan mengingat petuah para pemimpin terdahulu dan jangan sampai ditinggalkan, untuk budi pekerti yang lebih baik dan berguna untuk anak istri. Harus pandai mengajarkan ketentraman karena hal itu bermanfaat untuk diri sendiri dan keturunan kita agar enak dipandang ketika mendengarkan cerita yang indah dari mereka. Ada juga orang yang ketika kita mendengar perkataan mereka, pasti hati yang hancur akan merasa tenteram tetapi sebenarnya sulaya (berbeda/tidak sesuai) danorang-orang pastinya tidak akan sudi untuk mendengar. Memiliki teman seperti itu akan membahayakan. Dia akan menularkan sifat-sifat jeleknya dan berpindah kepada kita. Jangan sampai mendekati orang yang berbadan lelembut seperti itu.Suka mengadu seperti orang mengigau, suka berbohong dan berniat mencelakakan orang. Ibarat setan yang menaiki kipas, tiap terbangun selalu mengupayakan hal buruk tanpa berpikir. Bibirnya terasa masam jika tidak membicarakan keburukan orang lain. Itu pantas jika dibilang manusia berhati setan yang tidak boleh ditiru.
·       Setiap bulan yang berprofesi sebagai polisi hanya untuk membeli candu dan cemilan setelah itu ketika sudah merasakan kenikmatan kemudian pergi. Dia hanya memperbanyak harta, berbohong demi mendapatkan keuntungan untuk menambah uang belanja dan menambah candu. Badan menjadi kurus dan cepat mati. Banyak orang bersyukur atas kematiannya. Maka janganlah seperti itu.
·       Berpikirlah sebelum bertindak dan berucap. Berkeinginan tapi tak berusaha, itu pertanda waktumu sia-sia tak mendapatkan apa-apa. Hidup itu pilihan, utama atau nista, beruntung atau celaka, atas bawah itu sama karena sudah digariskan Tuhan.
·       Sekali lagi nasihat untuk para wanita, bersopan santunlah seperti manisnya ucapanmu. Supaya kamu menjadi orang yang hebat yang menambah senangnya hati.
·       Wanita harus memahami keinginan seorang suami. Wahai wanita, jika kamu tidak mengetahui keinginan suamimu, maka akan susah dalam bertindak dan menjadi kebingungan, asal-asalan, mementingkan nafsu, terburu-buru tanpa hasil dan terkatung-katung menjalani sesuatu karena terkena godaan setan. Maka dari itu wahai wanita, senangkanlah hati suami apalagi ketika di malam hari.
·       Wanita yang menjadi panutan di zaman dahulu, berupa cerita nyata untuk mendapatkan keutamaan menjadi wanita yang cantik dan pemberani yang dikasihi Tuhan. Untuk tulusnya kecantikanmu, jangan sampai kamu meninggalkan ajaran-ajaran atau nasihat-nasihat yang sudah kamu dapatkan, agar kamu mendapatkan kasih sayang dari suamimu di awal dan akhir. Lakukanlah setiap hari untuk membuat senang suamidengan bertutur kata yang menyenangkan hati suami.
·       Tuhan menciptakan pria dan wanita itu ada tujuannya. Pria itu menanamkan benih, wanita yang menyediakan tempat untuk benih itu, dan berkumpul menjadi wujud. Jika sudah berwujud dan bergerak, itu tandanya dia hidup dan pastinya akan bertanya dari mana dia berasal, kapan waktunya dia mulai ada, dan waktu dia berpulang nantinya.
·       Supaya dia mendapatkan jalan yang benar, dia tidak merasakan asing dan was-was karena sudah lama bergaul karena mengingat nasihat dari guru. Guru itu perantara ilmu dari mana kamu berasal. Kelakuan kita diamati oleh Tuhan. Orang yang benar-bemar mandiri itu pasti rajin berdoa kepada Tuhannya.
·       Manusia harus tahu hal baik dan burukdari hal yang diajarkan oleh orang pintar, baik budi, dan diterapkan dalam sebuah tulisan yang disimpan oleh ahli kitab, yakni kitab Qur’an dari Allah yang merupakan kepastian dari Allah. Pastinya manusia itu akan mengeluh dan mengadu kepada Tuhannya lewat doa jika dia seorang yang beriman.

a.       Kode Bahasa dalam Serat Darmawasita
Kode pertama yang harus dikuasai jika ingin mampu memberi makna pada teks tertentu adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks itu.Kode bahasa dapat dilihat dari tata bahasa dan kosakata yang digunakan penulis / pengarang.
Kode bahasa dalam Serat Darmawasita menggunakan beberapa istilah dalam penyebutan nama, antara lain :
mrih sarkara pamardining siwi
winursita dènira manitra
nujwari Salasa Wage
tri wêlas sasi Mulud
kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa
sariranta iku
mring iki wasitaningwang
marang sira putrèngsun jalu lan èstri
muga padha ngèstokna
(Dhandhanggula bait ke-1)

dudu pangkat dudu turun
dudu brana lawan warni
ugêre wong palakrama
wruhanta dhuh anak mami
(Kinanthi bait ke-5)      
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Darmawasita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan anakku dengan nama lain putrengsun dan anak mami. Dalam bahasa Jawa putrengsun bermakna anakku; anak mami merupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna anakku.Jadi, putrengsun dan anak mami memiliki satu arti yaitu anakku.

wong rumêksa dunungipun
sabarang darbèking laki
miwah sariraning priya
kang wajib sira kawruhi
wujud warna cacahira
êndi bubuhaning èstri      
(Kinanthi bait ke-8)
                            
gana-gini ekral kang jagèni
saduman wong wadon
kang rong duman wong lanang kang darbe
lamun duwe anak jalu èstri
bapa kang ngwènèhi
sandhang panganipun
(Mijil bait ke 10)          

iku lagi tampanana nuli
kang nastiti batos
tinulisan apa saanane
tadhah putra sêlir santanabdi
miwah rajatadi
kagunganingkakung
(Mijil bait ke-13)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Darmawasita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan seorang laki-laki dengan nama lain laki, priya, jalu, kakung. Dalam bahasa Jawa laki bermakna wong lanang; priya bermakna pria; jalu merupakan bahasa Jawa kuna yang berarti laki-laki; dan kakung dalam bahasa Jawa berarti laki-laki. Jadi, laki, priya, jalu dan kakung memiliki satu arti yaitu laki-laki.

awit wruha kukume jêng nabi
kalamun wong wadon
ora wênang andhaku darbèkke
priya lamun durung dèn lilani
mangkono wong laki
tan wênang andhaku
(Mijil bait ke-7)

gana-gini ekral kang jagèni
saduman wong wadon
kang rong duman wong lanang kang darbe
lamun duwe anak jalu èstri
bapa kang ngwènèhi
sandhang panganipun
(Mijil bait ke 10)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Darmawasita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan seorang wanita dengan nama lain wadon dan estri.Dalam bahasa Jawa wadon bermakna wanita; estri bermakna wanita.Jadi, wadon dan estri memiliki satu arti yaitu wanita.
                                       
yeka môngka srananing dumadi
tumanduke marang saniskara
manungsa apa kajate
sinêmbadan sakayun
yèn dumunung mring wolung warni
ingaran asthagina
iku têgêsipun                         
wolung pedah tumrapira
marangjanma margane mrih sandhang bukti
kang dhingin winicara
(Dhandhanggula bait ke-3)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Darmawasita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan manusia dengan nama lain manungsa dan janma.Dalam bahasa Jawa manungsa bermakna manusia; janma merupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna manusia. Jadi, manungsa dan janma memiliki satu arti yaitu manusia.

durtaning kang ati
anyêdhakkên rahayuning badan
dèn andêl mring sêsamane
lan malih wêkas ingsun
aja tuman utang lan silih
anyudakkên darajat
camah wêkasipun
kasoran prabawanira
mring kang potang lawan kang sira silihi
nyatane angrêrêpa       
(Dhandhanggula bait ke-6)

wong rumêksa dunungipun
sabarang darbèking laki
miwahsariraningpriya
kang wajib sira kawruhi
wujud warna cacahira
êndi bubuhaning èstri      
(Kinanthi bait ke-8)
Dalam bait-bait di atas menunjukkan bahwa dalam serat Darmawasita terdapat kode bahasa yaitu dalam penyebutan badan dengan nama lain sarira.Sarira merupakan bahasa Jawa kuna yang bermakna awak/badan. Jadi, badan dan sarira memiliki satu arti yaitu awak/badan.
b.      Kode Budaya dalam Serat Darmawasita
Kode budaya berguna untuk pemberian makna senuah teks dan untuk mengetahui latar belakang teks tersebut.Kode budaya member penjelasan tentang keadaan zaman pada saat karya sastra tersebut ditulis, baik secara eksplisit maupun implisit.


Di bawah ini adalah kode budaya dalam Serat Darmawasita :
mrih sarkara pamardining siwi
winursita dènira manitra
nujwariSalasa Wage
tri wêlas sasi Mulud
kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa
sariranta iku
mring iki wasitaningwang
marang sira putrèngsun jalu lan èstri
muga padha ngèstokna
(Dhandhanggula bait ke-1)
Pupuh tersebut menunjukkan masa dibuatnya Serat Darmawasita, yakni ketika hari Selasa Wage, tanggal 13, bulan Maulud tahun Dal.Serat itu dibuat pada zaman Surakarta, ketika masih dijajah Belanda, dan serat itu dibuat hanya untuk kalangan keraton waktu itu.


c.       Kode Sastra dalam Serat Darmawasita
Kode sastra dalam Serat Darmawasita adalah sebagai petunjuk sasmitaning tembang dalam tembang macapat yang mempunyai arti menunjukkan jenis tembang yang sudah ditetapkan.
mrihsarkara pamardining siwi
winursita dènira manitra
nujwari Salasa Wage
tri wêlas sasi Mulud
kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa
sariranta iku
mring iki wasitaningwang
marang sira putrèngsun jalu lan èstri
muga padha ngèstokna
(Dhandhanggula bait ke-1)
Kata sarkara pada awal bait tembang Dhandhanggula dalam Serat Darmawasita di atas bermakna gula, yang menunjukkan bahwa pupuh tersebut adalah pupuh Dhandhanggula.

pêpuntone gonira dumadi
ngugêmana mring catur upaya
mrih tan bingung pamundhine
kang dhingin wêkas ingsun
anirua marang kang bêcik
kapindho anuruta
mring kang bênêr iku
katri gugua kang nyata
kaping pate miliha ingkangpakolih
dadikanthi nèng donya
(Dhandhanggula bait ke-12)
Kata kanthi dalam bait terakhir pupuh Dhandhanggula tersebut merupakan sasmitaning tembang dalam Serat Darmawasita, sebagai tanda bahwa dari tembang dhandhanggula akan berpindah ke tembang Kinanthi.

basa wadi wantahipun
solah bawa kapiningit
yèn kalair dadya ala
saru tuwin anglingsêmi
marma sira dèn abisa
nyimpên wadi ywa kawijil
(Kinanthi bait ke-10)
Kata kawijil dalam bait terakhir pupuh Kinanthi tersebut merupakan sasmitaning tembang dalam Serat Darmawasita, sebagai tanda bahwa dari tembang Kinanthi akan berpindah ke tembang Mijil.
Pada tahun 1978, KGPAA Mangkunegaran IV mengarang Serat Darmawasita dalam bentuk tembang macapat yang terdiri dari 12 pada (bait) Dhandhanggula, 10 pada Kinanthi, dan 20 pada Mijil. Arti Darmawasita itu sendiri, Darma berarti ayah; orang tua laki-laki, Wasita berarti ajaran.Darmawasita adalah ajaran untuk anak/remaja.
Dalam serat Darmawasita di atas, terdapat nasihat-nasihat dan ajaran-ajaran dari nenek moyang kita.Ajaran luhur tersebut pada zamannya banyak dikaji, dihayati dan diamalkan sebagai pedoman hidup.Adapun inti sari ini “Serat Darmawasita” selengkapnya dapat dikelompokkan menjadi tiga: (a) Ajaran agar hidup sukses; (b) Ajaran menjadi abdi (pegawai) yang baik; (c) Ajaran sebagai isteri yang baik.
Ø Di bawah ini beberapa ajaran agar hidup sukses :
1.    Menikah. Seseorang harus menikah untuk melestarikan kehidupan manusia;
2.    Jangan terbiasa berhutang, karena dapat menjadikan diri kita diremehkan orang lain. Jika belum terlalu mendesak, hindari hutang.
3.    Jangan jadi orang miskin, karena bila kita miskin tidak akan dihargai dalam masyarakat, dan jika imannya tidak kuat maka akan menyalahkan diri sendiri kemudian bunuh diri.
4.    Melakukan asthagina (8 hal) :
a.       nut ing jaman kelakone, harus pandai menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sesuai dengan jamannya;
b.      rigen, pandai bekerja dengan efisien dan efektif;
c.       gemi, hemat agar hidupnya berkecukupan;
d.      nastiti ing pariksa, harus teliti dalam segalahal;
e.       weruh etung, tahu perhitungan dalam memanfaatkan penghasilannya tidak hanya untuk waktu sekarang, tetapi juga memperhitungkan waktu mendatang;
f.       taberi tatanya, rajin bertanya sehingga tidak tersesat dan pengetahuannya bertambah;
g.      nyegah kayun, dapat mengendalikan diri sehingga tidak banyak berbuat kesalahan;
h.      nemen ing sedya, bila mempunyai niat dilakukan dengan sungguh-sungguh tidak hanya setengah-setengah.
5.    Jangan malas bekerja. Jika ingin kehidupan yang cukup, bekerjalah. Sekalipun sudah berkecukupan, jangan sampai malas bekerja agar dijauhkan dari kesusahan.
6.    Melaksanakan sikap-sikap utama, antara lain : luruh (pandangan mata tidak liar dan hanya melihat seperlunya), trapsila (selalu bersikap sopan), mardawa (selalu ramah terhadap orang lain); manut mringcaraning bangsa (tindakan seharusnya selalu berwawasan kebangsaan dan tidak berdasarkan atas suku bangsanya sendiri), andhap asor (selalu bersikap rendah hati), meneng (tidak banyak berbicara bualan), prasaja (penampilan harus wajar dan tidak berlebih-lebihan), tepa selira (memiliki tenggang rasa yang tinggi), eling (selalu ingat akan baik-buruk dan ingat kedudukan dirinya sebagai makhluk Tuhan), dan ulat batin (melakukan kegiatan pembinaan rohani agar mendapatkan jalan keutamaan).
7.    Melaksanakan catur upaya, yaitu: meniru hal-hal yang baik dan menjauhi yang buruk; percaya pada kenyataan; dan memilih hal-hal yang tepat dan menguntungkan.

Ø  Ajaran Menjadi Abdi yang Baik :
Abdi yang baik itu, adalah abdi yang memiliki sikap :1). Rajin, agar tidak mengecewakan yang menyuruh; 2).Suka bekerja dan tidak malas, agar tidak membuat marah yang menyuruh; 3).Ulet dalam bekerja, agar memberi kepuasan yang menyuruh; 4).Bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar bisa dipercaya; 5).Harus selalu hati-hati, agar terhindar dari kesalahan.
Ø  Ajaran Menjadi Istri yang Baik :
Hal pertama yang diinginkan seorang istri itu adalah dihargai dan dicintai suami. Dan agar semua itu terwujud, hendaknya bisa menjadi istri yang :1). Patuh kepada suami, apa yang dikehendaki suami dilakukan dengan sabar dan diselesaikan dengan baik; 2). Condong, selalu mendukung kehendak suami, merawat kesukaan suami, dan tidak membicarakan kejelekan suami; 3).Menjaga, artinya menjaga segala kepunyaan suami dan mengetahui jumlah rinciannya; 4).Teliti, tahu asal mula suatu barang dan kegunaannya, selalu merawat nafkah dari suami dan hidup hemat; 5).Menyimpan rahasia, artinya pandai menyimpan rahasia suami.
Hal kedua adalah istri yang bisa menjadi ibu rumah tangga yang berhasil, hendaknya memiliki sikap dan pengetahuan mengenai tugas seorang istri, antara lain : 1). Bersikap hati-hati dalam segala hal; 2). Mengenal sifat-sifat keluarga dan sanak saudara agar dapat menyesuaikan diri; 3). Mengerti acara suami sehari-hari dan bisa membantu keperluannya.
Ketika memberikan pendapat atau saran harus mencari waktu yang tepat.Sebagai istri yang baik harus mengerti tugas-tugas sebagai seorang istri yang jelas, dan apabila belum paham, sebaiknya minta penjelasan kepada suami.Menghidari mempergunakan dan memanfaatkan barang-barang milik suami tanpa seijin suami.Meski suami memberi keleluasaan, tetapi tetap melakukan hal sewajarnya sesuai ketentuan yang berlaku. Mampu meminimalisir pengeluaran  dan menyesuaikan dengan pendapatan. Bila terjadi perceraian, harta bawaan istri tetap menjadi milik istri, harta gono-gini (yang diperoleh selama berkeluarga) menjadi milik istri dan biaya hidup anak-anak menjadi tanggung jawab suami.
Dalam pengkomparasian dua karya sastra ini, digunakan teori Semiotik A. Teeuw yang dipandang sesuai dengan karya sastra berupa serat yang akan diperbandingkan. Teori ini berisi beberapa sistem kode, yakni kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.

·         Kode Bahasa       
Wulang Wanita dan Darmawasita dalam pupuh-pupuhnya sama-sama mengandung kode-kode bahasa dalam hal penyebutan nama dan istilah. Misalkan dalam kata priya, jalu, dan laki; biyang dan ibu; yayah dan anak; sarira, awak, dan badan; putrengsun dan anak mami; manungsa dan janma;  dan seterusnya.


Kutipan :
murwèng sarkara nata sung wangsit
mring sagunging wanita kang samya
winêngku marang priyane
kudu manut sakayun
ngayam-ayam karsaning laki
lêlèjêma mrih rêna | karanane iku
dadi jalaraning trêsna-
ning wong priya yayah guna lawan dhêsthi
pasthine mung elingan
(Dhandhanggula bait ke-1)
Priya dan laki bermakna sama yakni laki-laki.

aywa linglung lênglêng nora eling
lalu lina lêlabaning lara
badan tumêkèng atine
titi tan mikir wuruk  
angrêrusak budi tan wêning
sangsaya mring sarira
ras-arasên nurat
wulanging bapa lan biyang
yêkti pantês tinurut jêr iku dadi
jalaraning tumitah      
(Dhandhanggula bait ke-2)

buring carma aranipun (èlês)
ibu Sang Duryudanaji (Gêndari)
lêstarining barang karsa
angèl lamun tan ngawruhi
sasmitaning môngsakala
lalu luluh tan pakolih
(Kinanthi bait ke-11)
Biyang dan ibu bermakna sama yakni ibu.

·         Kode Budaya
-          Wulang Wanita : serat ini dibuat pada masa pra kemerdekaan yakni pada tahun 1898. Pada hari Rabu Kliwon, Tanggal 3, Bulan Rabi’ul Akhir tahun Galungan.
Kutipan :
wus pinunggêl pitutur mring èstri
sêdhênge sêmono
pan kasêlan lagi mikir ponès
Rêbo Kliwon ping têlu kang sasi
ing Rabingulakir Galungan kang wuku
(Mijil bait ke-13)
-          Darmawasita : serat ini dibuat pada masa setelah penjajahan Belanda atau paska kemerdekaan yakni pada tahun 1953. Pada hari Selasa Wage, tanggal 13, bulan Maulud, tahun Dal.
Kutipan :
mrih sarkara pamardining siwi
winursita dènira manitra
nujwariSalasa Wage
tri wêlas sasi Mulud
kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa
sariranta iku
mring iki wasitaningwang
marang sira putrèngsun jalu lan èstri
muga padha ngèstokna
(Dhandhanggula bait ke-1)
·         Kode Sastra
Kode sastra dalam serat Wulang Wanita dan Darmawasita ini sama-sama berupa sasmitaning tembang yang menunjukkan jenis tembang dan pada saat peralihan ke tembang lain, di antaranya dalam serat Wulang Wanita ada tembang Dhandhanggula, Asmarandana, Kinanthi, dan Mijil. Dan sedangkan dalam Darmawasita di antaranya ada tembang Dhandhanggula, Kinanthi, dan Mijil.

Kutipan :
ywa lalu mandayèng laki
lali pijêr don asmara
kalimput mung suka bae
yogya sira mêmujia
sakadaring wanita   
titise dadi tan cubluk
sudibya ngungkuli bapa
(Asmarandana bait ke-1 Wulang Wanita)
Kata asmara pada awal bait tembang Asmarandana dalam Serat Wulang Wanita di atas bermakna asmara atau cinta, yang menunjukkan bahwa pupuh tersebut adalah pupuh Asmarandana.
mrihsarkara pamardining siwi
winursita dènira manitra
nujwari Salasa Wage
tri wêlas sasi Mulud
kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa
sariranta iku
mring iki wasitaningwang
marang sira putrèngsun jalu lan èstri
muga padha ngèstokna
(Dhandhanggula bait ke-1 Darmawasita)           
Kata sarkara pada awal bait tembang Dhandhanggula dalam Serat Darmawasita di atas bermakna gula, yang menunjukkan bahwa pupuh tersebut adalah pupuh Dhandhanggula.
Dalam Serat Wulang Wanita mengajarkan bagaimana menjadi seorang wanita, istri, dan ibu yang baik di mata keluarga. Di antaranya :
-          Wanita harus patuh kepada suami
-          Wanita itu harus selalu eling
-          Wanita harus pandai menjaga rahasia
-          Wanita harus memahami keinginan suami
-          Wanita harus bersopan santun kepada suami
-          Wanita harus tahu cara mendidik anak
-          Wanita harus menyiapkan pakaian dan makanan untuk suami
-          Wanita harus selalu menjaga kebersihan rumah dan badan ketika menyambut tamu
-          Wanita harus selalu mengingat dan mematuhi petuah dari pemimpin
-          Wanita harus selalu berpikir dalam bertindak dan berucap
Semuanya menyangkut tata cara menjadi wanita yang baik. Berbeda dengan kandungan serat Darmawasita yang tidak hanya mengulas mengenai wanita. Dalam serat Darmawasita mengulas beberapa ajaran, di antaranya : 1). Ajaran agar hidup sukses; 2). Ajaran menjadi abdi yang baik; 3). Ajaran menjadi istri yang baik.
Ajaran menjadi istri yang baik disini meliputi :
-          Patuh kepada suami
-          Selalu mendukung suami
-          Menjaga harta suami
-          Teliti asal mula barang
-          Menyimpan rahasia
-          Bersikap hati-hati
-          Mengenal sifat keluarga dan sanak saudara
-          Mengerti acara suami dan membantu keperluannya
-          Menghindari menggunakan barang milik suami tanpa ijin
-          Hemat
-          Harta gonogini milik istri tetap milik istri, biaya hidup anak menjadi tanggung jawab suami.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Serat Wulang Wanita dan Darmawasita sama-sama mengulas tentang ajaran bagaimana menjadi wanita yang baik.Baik menjadi isteri maupun menjadi seorang ibu.Akan tetapi, masih ada beberapa perbedaan antara Serat Wulang Wanita dan Darmawasita yang bisa dilihat dari segi pengkodean (kode bahasa, sastra, budaya) dan dari segi kandungan maknanya.








5.1 Simpulan
a.       Kode Bahasa
Kode bahasa dalam Serat Wulang Wanita antara lain pada kata :
-       Priya, laki, jalu
-       Ibu, biyang
-       Yayah, anak
-       Sarira, badan, raga, awak
-       Estri, wanita
-       Janma, manungsa
-       Goroh, umuk, ngapusi
-       Setan, eblis
-       Hyang Manon, Hyang Agung, Allah
Terdapat penyebutan nama lain suatu benda atau nama orang.

b.    Kode Budaya
Kode budaya dalam Serat Wulang Wanita antara lain penyebutan nama tahun ketika serat dibuat yaitu hari Rebo Kliwon, tanggal 3, bulan Rabi’ul Akhir, tahun Galungan.
c.    Kode Sastra
Kode sastra dalam Serat Wulang Wanita antara lain terdapatnya sasmitaning tembang dalam pupuh-pupuh Dhandhanggula, Asmarandana, Kinanthi, dan Mijil.
a.    Kode bahasa
Dalam Serat Darmawasita antara lain pada kata putrengsun dan anak mami; laki, priya, lanang, jalu, dan kakung; wadon dan estri; manungsa dan janma. Terdapat penyebutan nama lain dari suatu benda atau nama orang.
b.    Kode budaya
Dalam Serat Darmawasita antara lain penyebutan nama tahun ketika serat itu dibuat yakni hari Selasa Wage, tanggal 13, bulan Maulud, tahun Dal. Yakni pada zaman Surakarta, pada saat masih dijajah oleh Belanda.
c.    Kode sastra
Dalam Serat Darmawasita antara lain terdapatnya sasmitaning tembang dalam pupuh-pupuh Dhandhanggula, Kinanthi, dan Mijil.
5.1.3        Komparasi Serat Wulang Wanita dan Darmawasita
Serat Wulang Wanita dan Darmawasita sama-sama mengulas tentang ajaran bagaimana menjadi wanita yang baik.Baik menjadi isteri maupun menjadi seorang ibu.Akan tetapi, masih ada beberapa perbedaan antara Serat Wulang Wanita dan Darmawasita yang bisa dilihat dari segi pengkodean (kode bahasa, sastra, budaya) dan dari segi kandungan maknanya.
5.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Mangkunegaraan IV, KGPAA.1953. Serat Darmawasita. Yogyakarta : Yayasan Sastra Lestari.
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University.
Padmasusastra.1898. Serat Wulang Wanita. Yogyakarta : Yayasan Sastra Lestari.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Bausastra Jawa. Batavia : T.B. Wolters Uitgevers Maatscappichappij N.V. Groningen.
Teeuw, A..1991.Membaca dan Menilai Sastra.Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama.











Serat Wulang Wanita karya Padmasusastra, 1898, #218
1. Dhandhanggula
1. murwèng sarkara nata sung wangsit | mring sagunging wanita kang samya | winêngku marang priyane | kudu manut sakayun | ngayam-ayam karsaning laki | lêlèjêma mrih rêna | karanane iku | dadi jalaraning trêsna- | ning wong priya yayah guna lawan dhêsthi | pasthine mung elingan ||
2. aywa linglung lênglêng nora eling | lalu lina lêlabaning lara | badan tumêkèng atine | titi tan mikir wuruk | angrêrusak budi tan wêning | sangsaya mring sarira | ras-arasên nurat | wulanging bapa lan biyang | yêkti pantês tinurut jêr iku dadi | jalaraning tumitah ||
3. têtêpana tartamtuning èstri | pan pinêtri wêwadining badan | dadi tartip iku rane | tartip têgêse urut | runtut titis wajibing èstri | titis bênêr têgêsnya | nêring driya iku | ywa liya mring lakinira | rah-arahên [rah-arah...]
--- 192 ---
[...ên] ywa arda driya dèn manis | ulat wijiling sabda ||
4. dadi kanggo tinuruting laki | jêr ta sira miturut tur awas | marang karsaning lakine | nuraga dadi iku | marmaning Hyang asih mring dasih | sumingkir duka cipta | iku adatipun | labêt labuhaning kuna | kang kasusra wanita kanggo ing laki | yogya linaluria ||
5. myating solah myang karsaning laki | kira-kira mrih rêsêping karsa | dadi timbang mrih pêrlune | laki kongasing kalbu | bungah lengah-lèngèh kang èstri | tinurut kasêmbadan | tan cuwa tyasipun | lir taru katiban warsa | ngrêmbaka ron kêmbang pêntile andadi | têntrêm tan walang-driya ||
6. driyanira dèn têntrêm ywa gingsir | sarwa bisa wajibing wanita | mirantèni busanane | priya myang dhaharipun | ingkang dadi karêming laki | pinatut wayahira | sarapane esuk | têngange lan lingsir surya | têngah wêngi byar esuk sayoga salin | tan bosên mamrih lêjar ||
--- 193 ---
7. jêr ta iku dudutaning pikir | dadi sumèh sêmune tan giras | têntrêm krasan nèng wismane | yêkti sira kang untung | tinunggonan nora ngêmbani | lamun sira sêmbada | sariranta iku | bêbrêsih wida myang sêkar | sawatara dadi panggugahing ati | lakinta nora kêmba ||
8. bisikane sang raja ing Dêmis (Prabu Umum) | pan wus umum sakèhing wanita | gung nêpsu cupêt budine | lalèn dhêmên ginunggung | nora ketung bayar rong ringgit | janjine ana ujar | ngrika wontên dhukun | bisa nyarati wanita | jambe suruh saranane kanggwèng laki | ginugu tan tinimbang ||
9. mula akèh wanita yèn laki | pitung dina branane wus bebas | pinunjungkên mring dhukune | tombok darbèking kakung | busanadi prabot anangkil | konangan jinêmalan | tur sudasihipun | awak lêsah ati susah | tan tinulung mring lakine muring-muring | gêring cêkèk dadakan ||
10. ngagak-agak sêbute dharindhil |
--- 194 ---
iya talah nora kaya ingwang | têka dadine mangkene | parikan pantèk kayu (paju) | ulêr siti kang môngsa sikil (rang) | majwèwuh mundur wirang- | nging wus watakipun | wanodya yèn lagi susah | tansah katon bapa biyung dèn aturi | pae yèn kanggwèng krama ||
11. lali lamun jalaraning urip | pijêr mikir sukane don karsa | ingundang kèh sêmayane | nanging kalamun padu | jaranthalan prapta pribadi | dhuh adhuh wong wanita | sun puji tyasipun | mituruta sakèh wulang | lêrêpêna driyanta supaya dadi | tuladan marang putra ||
12. jêr ta lumrah wong iku sêsiwi | yèn alaa nênulari putra | dadi tan ana ajine | tininggal bapa biyung | ngayang-ayang tanna ngajèni | sama-samèng tumitah | uripe ngalincut | cinacat turuning sudra | midêr-midêr mring lyan praja samya uning | yèn iku trahing kompra ||
13. angalompra tangèh wruhing bêcik | goroh
--- 195 ---
umuk tur sugih carita | yaiku dadi gêlare | mrih kandêl mring lyanipun | pakantuka gone ngapusi | sire lir pokrul jendral | bisane calathu | iku wong durjana sabda | dipun eling sakèhing manungsa sami | ywa kongsi nandhang brônta ||
2. Asmaradana
1. ywa lalu mandayèng laki | lali pijêr don asmara | kalimput mung suka bae | yogya sira mêmujia | sakadaring wanita | titise dadi tan cubluk | sudibya ngungkuli bapa ||
2. pan mangkono wong aurip | jangkane kudu jinangkah | kang ririh amrih ywa cèwèt | katêkan sakarsanira | lumintu tan rêkasa | pae karsa kang kasusu | suh sirna tanpa karana ||
3. sumaraha mring Hyang Widhi | kang asung urip mring sira | dèn rapêt ngadu pasêmon | sêmuning Gusti kawula | dèn jumbuh ywa bêncorah | ngarah lêstarining kusuk | pasêmone pinrih jomblah ||
4. jomblah wanuh ingkang wrêdhi | mangkene upamanira |
--- 196 ---
pawèstri iku wajibe | dèn wêruh budining priya | dimèn tuk sih tan kêndhat | bokmanawa wuwuh-wuwuh | wahanèng tyas marang sira ||
5. ruwiyaning para putri | ing kuna wus cinarita | ing Ngarab myang Jawa kene | kang utama piniliha | sakadaring sarira | linaras lan jamanipun | mrih tumrah tinoning kathah ||
6. pathining we jalanidhi (uyah) | ron lêmpuyang misih mudha (lirih) | wus sayah kang ngripta mangke | aririh dera mangarah | runtute kang wiyata | tarlèn mung dadya pangemut | tyasing wanita mrih arja ||
7. kasmaran ngungune guling | angripta kadi supêna | sêdya andugèkkên manèh | pitutur mring pra wanita | yogyane barêsiha | jro wisma myang badanipun | mrih rahabing kadang mitra ||
8. ingkang sêdya amartuwi | pirangbara lamun bisa | nyugata amrih sukane | kadang mitra ingkang samya | tuwi krasan rêrasan | saking bisa tindak-tanduk | ingaranan bojakrama ||
9. boja [bo...]
--- 197 ---
[...ja] suguh ranirèki | krama têmbung kang mrih lêjar | tyasing tamu mrih jênake | tan age mulih dumadya | pratandhane yèn sira | sinihan sêsaminipun | janma yogya linuria ||
10. karanane wong antuk sih | ing manungsa iku tôndha | Hyang Manon kang ngosikake | dèn agung sukuring Suksma | muga ta lêstaria | sihing Hyang turun-tumurun | tumêkèng dina kiyamat ||
11. mufangati lair batin | wong sinihan samèng titah | tumruntun prapta drajate | sasêdyane pan tinêkan | mangkana adatira | manungsa kang arsa luhung | sumingkir marang kanisthan ||
3. Kinanthi
1. nganthia wulanging ratu | kang wus mashur nguni-uni | budwèslam samya têtilar | nalar kang amrih nulari | mring budi dadine jêmbar | brêkahi mring anak rabi ||
2. pirabara lamun sarju | liyaning ahli kapengin | miturut wiyata arja | ujêr iku mufangati | mring badan lan ahlinira | rêsêp [rêsê...]
--- 198 ---
[...p] antuk kojah bêcik ||
3. cobanên kalamun ngrungu | ujaring kang dadi wiji | wijining utamèng karsa | yêkti têntrêm tyas kang gingsir | lan sire dhewe sulaya | janma lèn yêkti tan sudi ||
4. darbe mitra kang kadyèku | tan wande andarawasi | nulari sakèhing nalar | milar milalu mêdèni | wis aja sinruwe padha | wong ingkang pangawak dhêmit ||
5. dhêmên wadul lir wong nglindur | dora ragane mrih bêcik | cilakaning lyan sinêdya | kadya setan nunggang ilir | sabên nglilir angupaya | luputing tôngga pinikir ||
6. kêri gatêl lambenipun | kalamun nora ngrasani | mring kônca mitra kêkadang | iku têtela yèn dadi | awak uwong ati setan | tan kêna dipun lambani ||[1]
7. pantês ngalap opah iku | sabên sasi sing pulisi | cukup digo tuku madat | lan pacitan sawatawis | yèn wus sêgêr nuli lunga | golèk warta mrih bilai- ||
8. ning wong kang
--- 199 ---
nora tartamtu | mung tamtu antuk pawarti | tinata dènira dora | supadya kandêling wingking | wuwuh blônja wuwuh madat | awak kuru gêlis mati ||
9. patine akèh kang sukur | saksat kelangan kalilip | nora gêdhe nanging lara | marang mata brêbês mili | mulane para sujanma | aja kadi dhuwur iki ||
10. pikirên utamanipun | solah muna lawan muni | ron roda kinarya ajang (takir) | gong alit munggêl irami (ganjur) | pikirên dhingin supaya | tan kabanjur tindak nisthip ||
11. buring carma aranipun (èlês) | ibu Sang Duryudanaji (Gêndari) | lêstarining barang karsa | angèl lamun tan ngawruhi | sasmitaning môngsakala | lalu luluh tan pakolih ||
12. pilihên wong urip iku | utama kalawan nisthip | bêgja kalawan cilaka | andhap luhur iku sami | wus ginêlar anèng wulang | ywa lalu gone nglaluri ||
13. jaman katon jroning turu (ngimpi) | marga we kang munggèng tritis [tri...]
--- 200 ---
[...tis] (talang) | dèn kaèpi sakèh wulang | tinimbang mrih babar budi | budiman baboning gêsang | sarana parêk mring Gusti ||
14. gusti iku kèh liripun | gusti lair gusti batin | laire sri naranata | ing batin kang maha suci | karone kudu sinêmbah | mrih utamèng dunya ngakir ||
15. mapan pae patrapipun | sêmbah lair sêmbah batin | laire sarana tangan | batine dumunwèng ati | tinata dipun têtela | laraping don pinrih titi ||
16. tartip têtêp titis têguh | ginodha gunging pangèksi | tan rinungu tan rinasa | mung ngrasa nikmating ati | ati runtut wus tinata | tataning tindak utami ||
17. rinambah liring pitutur | marang samoaning èstri | dèn alus jatmikèng tingkah | lire sabdanira manis | supadya dadya nang-onang | sêngsêming driya mimbuhi ||
18. dèn awas sasmitèng dunung | dununge karsaning laki | dhuh babo babo wanodya | yèn tan wruh karsaning laki |
--- 201 ---
rudah ing cipta tur dadya | kuwur ngawur kowar-kawir ||
19. kawêran ing gênging napsu | kêsusu tan antuk kasil | kêsliyo tyas têmah ngrêdha | kêna karêncanèng eblis | lah ta mulane wanita | dèn samya amêrak ati ||
20. titikane duk ing dangu | wanita ingkang utami | tuladan ing kuna-kuna | caritaning [...]t[2] singgih |[3] supadya antuk utama | utamèng [...][4] dumadi ||[5]
21. dhuh babo babo wong ayu | [...] apasihaning Widhi |[6] dimèn tulus ayunira | [...] pasihan lêstari |[7] tan pêgat sinung darajat | [...]n[8] sira wruh ing wangsit ||[9]
22. sêsiku kang mrih [...]smu |[10] poma-poma dèn kaèsthi | supaya antuk sihira | ing lakinta awal akir | dadi awak tanpa [...] |[11] nèng dunya wimbuh kamuktin ||
23. gampang wong [...]tèng[12] kakung |[13] mung miturut ing sakapti | nastiti sawu[...]ra |[14] aywa wani nyênyampahi | nadyan karyaa le[...]wa |[15] dèn bisa manuju kapti ||
24. kancana kang mung[...]
--- 202 ---
bau (gêlang) |[16] ayam kang kêkuncung Gusti (mêrak) | gêgulangên sabên dina | mrak ati muna lan muni | tur dadi sukaning driya | lumunturing sih kawijil ||
4. Mijil
1. darunanirèng Hyang Maha Suci | nganakkên punang wong | jalu èstri pan padha pêrlune | wujud priya lantaraning wiji | èstri kang madhahi | kumpul dadi wujud ||
2. yèn wus wujud obah aran urip | wajibe têtakon | sajarahe ingkang nganakake | kang asarèh pitakone titi | patitising wiwit | pungkasaning mantuk ||
3. supayantuk marga ingkang sidik | dadi mulih mring gon | gone lawas tan uwas wus wèntèh | wus tan was-was wanuhe wus lami | mêmitran wit eling | winulang mring guru ||
4. guru iku lantarane yun wrin | wajibing tumuwoh | wohing kamal (asêm) dununge sang rajèng (kitha) | dèn waskitha sêmune Hyang Widhi | mandhiri sajati | jatine mung iku ||
5. kang sinêbut pinuja-pinuji | yêkti
--- 203 ---
mung Hyang Manon | nabi wali oliya myang rajèng | apan pantês pinuji mring janmi | sabab iku sami | kêkasih Hyang Agung ||
6. yèn manungsa liya sri bupati | Ngabdul araning wong | apan jêmak lan manungsa kabèh | mung pinurih aywa srik ing galih | lumintu mrih puji | ing manungsa iku ||
7. kudu-kudu tinarimèng ati | manawa kapêrgok | nabi Allah kang mindha druwise | jabat akèh tuladhane nguni | malekat pi-api | namur anjêjaluk ||
8. mung carita dudu zaman mangkin | samêngko tan kanggo | mung pinirit jumbuhing mangsane | dadi nora kaelangan lari | nglêluri utami | mamrih sugih kang wruh ||
9. wruha ing ala kalawan bêcik | saking wulang ing wong | ingkang wasis waskitha budine | pan ingêtrap nèng dluwang lan mangsi | sinimpên mring ahli | kitab aranipun ||
10. kitab saking Kuran asalnèki | Kuran sing Hyang Manon | ya ta môngsa Allah nulis dhewe | pasthi
--- 204 ---
nyambat manungsa kêkasih | tinrap nèng jro ngati- | ning manungsa iku ||
11. jêr ta ana kang muni jro dalil | rapale mangkono | kalbu mukmin ya betolahine | ing têgêse ati ingkang mukmin | ingakên sayêkti | unggyaning Hyang Agung ||
12. basa mukmin manungsa wus napi | liyane Hyang Manon | dadi kayun pidarèni rane | wong kang manuh manggone kêkalih | dunya dèn dunungi | ing akerat jumbuh ||
13. wus pinunggêl pitutur mring èstri | sêdhênge sêmono | pan kasêlan lagi mikir ponès | Rêbo Kliwon ping têlu kang sasi | ing Rabingulakir | Galungan kang wuku ||
14. kang môngsastha Kunthara warsa Lip | sangkala rinaos | kawilêting kawi wangsalane | yitmèng praja cipta kang kawijil |[17] kangjêng sri bupati | karsa amanawung ||
15. drênging driya tansah amêmuji | kalipahing Manon | yun mangèsthi sang prabu ing mangke | wulang tumrap marang para èstri | mrih ayu pinanggih | wit wêkasanipun ||

Serat Darmawasita karya Mangkunegaran IV
1. Dhandhanggula
1. mrih sarkara pamardining siwi, winursita dènira manitra, nujwari Salasa Wage,tri wêlas sasi Mulud, kasanga Dal sangkalèng warsi, winêling anêngaa, sariranta iku, mring iki wasitaningwang, marang sira putrèngsun jalu lan èstri, muga padha ngèstokna.
2. rèhne sira wus diwasa sami, sumurupa lakoning agêsang, sun tuturi kamulane, manungsa èstri jalu, pêpantaran dènnya dumadi , nèng donya nut agama , jalu èstri dhaup, môngka kanthining agêsang, lawan kinèn marsudi dawakkên wiji, ginawan budidaya.
3. yeka môngka srananing dumadi, tumanduke marang saniskara, manungsa apa kajate, sinêmbadan sakayun, yèn dumunung mring wolung warni, ingaran asthagina, iku têgêsipun, wolung pedah tumrapira, marang janma margane mrih sandhang bukti, kang dhingin winicara.
4. panggaotan gêlaring pambudi, warna-warna sakaconggahira, nut ing jaman kalakone, rigên ping kalihipun, dadi pamrih marang pakolih, katri gêmi garapnya, margane mrih cukup,papat nastiti papriksa, iku dadi margane wêruh ing pasthi, lima wruh etung ika.
5. watêk adoh mring butuh saari, kaping nênêm tabêri têtanya, ngundhakkên marang kawruhe, ping pitu nyêgah kayun, pêpenginan kang tanpa kardi, tan boros marang arta,sugih watêkipun, ping wolu nêmên ing sêja, watêkira sarwa glis ingkang kinapti, yèn bisa kang mangkana .
6. angêdohkên durtaning kang ati, anyêdhakkên rahayuning badan, dèn andêl mring sêsamane, lan malih wêkas ingsun, aja tuman utang lan silih, anyudakkên darajat, camah wêkasipun , kasoran prabawanira, mring kang potang lawan kang sira silihi, nyatane angrêrêpa .
7. luwih lara-laraning kang ati, ora kaya wong tininggal arta, kang wus ilang piandêle, lipure mung yèn turu, lamun tangi sungkawa malih, yaiku ukumira, wong nglirwakkên tuduh, ingkang aran budidaya, têmah papa asor dènira dumadi, tan amor lan sêsama.
8. kaduwunge saya angranuhi, sanalika kadi suduk jiwa, èngêt mring kaluputane, yèn kêna putraningsun, aja kadi kang wus winuni, dupèh wus darbe sira, panci pancèn cukup, bêcik linawan gaota, kang supaya kayumananing dumadi , manulak mring sangsaya.
9. rambah malih warsitaning siwi, kawikana patraping agêsang, kang kanggo ing salawase, manising netya luruh, angêdohkên mring salah tampi, wong kang trapsilèng tata, tan agawe rêngu, wicara lus kang mardawa, iku datan kasêndhu marang sêsami, wong kang rumakêt ika.
10. karya rêsêp mring rewange linggih, wong kang manut mring caraning bôngsa, watêk jêmbar pasabane, wong andhap asor iku, yêkti olèh panganggêp bêcik, wong mênêng iku nyata, nèng jaban pakewuh, wong prasaja solahira, iku ora gawe ewa kang ningali, wong nganggo têpanira.
11. angêdohkên mring dosa sayêkti, wong kang èngêt iku watêkira, adoh marang bilaine, mangkana sulangipun,wong kang amrih arjaning dhiri, yèku pangulahira, batin ugêripun, ing lair grêbaning basa, yeka aran kalakuan ingkang bêcik, margane mring utama.
12. pêpuntone gonira dumadi, ngugêmana mring catur upaya, mrih tan bingung pamundhine, kang dhingin wêkas ingsun, anirua marang kang bêcik, kapindho anuruta, mring kang bênêr iku, katri gugua kang nyata, kaping pate miliha ingkang pakolih, dadi kanthi nèng donya.

2. Kinanthi
1. dene wulang kang dumunung, pasuwitan jalu èstri, lamun srêgêp watêkira, tan karya gêla kang nuding, pêthêl iku datan dadya,jalaran duka sayêkti.
2. têgên iku watêkipun, akarya lêga kang nuding,
wêkêl marganing pitaya, dene ta pangati-ati, angêdohkên kaluputan, iku margane lêstari.
3. lawan malih wulangipun, margane wong kanggêp nglaki, dudu guna japa môntra, pèlèt dhuyung sarat dhêsthi, dumunung nèng patrapira , kadi kang winahya iki.
4. wong wadon kalamun manut, yêkti rinêmênan nglaki, miturut marganing wêlas, mituhu marganing asih, mantêp marganirèng trêsna, yèn têmên dèn andêl nglaki.
5. dudu pangkat dudu turun , dudu brana lawan warni, ugêre wong palakrama, wruhanta dhuh anak mami,
mung nurut nyondhongi karsa, rumêksa kalayan wadi .
6. basa nurut karêpipun, apa sapakoning laki, ingkang wajib linêksanan , tan suwala lan baribin, lêjaring netya sarônta, tur rampung tan pindho kardi.
7. dene condhong têgêsipun, ngrujuki karsaning laki, saniskara solahbawa, tan nyatur nyampah maoni, apa kang lagi rinênan, opènana kang gumati.
8. wong rumêksa dunungipun, sabarang darbèking laki, miwah sariraning priya, kang wajib sira kawruhi, wujud warna cacahira, êndi bubuhaning èstri.
9. wruha sangkan paranipun, pangrumate dèn nastiti, apadene guna kaya, tumanjane dèn patitis, karana bangsaning arta, iku jiwanirèng lair.
10. basa wadi wantahipun, solah bawa kapiningit, yèn kalair dadya ala, saru tuwin anglingsêmi, marma sira dèn abisa, nyimpên wadi ywa kawijil .

3. Mijil       
1. wulang èstri kang wus palakrami, lamun pinitados, amêngkoni mring bale-wismane, among putra maru sêntanabdi, dèn angati-ati, ing sadurungipun.
2.tinampanan waspadakna dhingin, solahbawaning wong,ingkang bakal winêngku dhèwèke, miwah watak pambêkane sami, sinuksma ing batin, sarta dipun wanuh.
3. lan takona padatan ingkang wis, caraning lêlakon, miwah apa saru-sêsikune, sêsirikan kang tan dèn rêmêni, rungokêna dhingin, dadi tan pakewuh.
4.tumrap irèh pamanduming wanci, tatane ing kono, umatura dhingin mring priyane, yèn panuju ana ing asêpi, ywa kongsi baribin, saru yèn rinungu.
5. bokmanawa lingsêm têmah runtik, dadi tanpantuk don.
dene lamun ingulap netyane, datan rêngu lilih ing panggalih, banjurna dera ngling , lawan têmbung alus.
6. anyuwuna wulang wêwalêring, gonira lêlados, lawan êndi kang dèn wênangake, marang sira wajibing pawèstri, anggonên salami, dimèn aja padu.
7. awit wruha kukume jêng nabi, kalamun wong wadon, ora wênang andhaku darbèkke, priya lamun durung dèn lilani, mangkono wong laki, tan wênang andhaku.
8. mring gawane wong wadon kang asli, tan kêna dèn êmor, lamun durung ana palilahe, yèn sajroning salaki sarabi,
wimbuh rajatadi, iku jênêngipun.
9. gana-gini padha andarbèni, lanang lawan wadon, wit sangkane sôngka sakarone,nging wêwênang isih anèng laki, marma ywa gêgampil, rajatadi mau.
10. gana-gini ekral kang jagèni, saduman wong wadon, kang rong duman wong lanang kang darbe, lamun duwe anak jalu èstri, bapa kang ngwènèhi, sandhang panganipun.
11. pama pêgat mati tuwin urip, gonira jêjodhon, iku ora sun tutur kukume, wêwênange ana ing surambi, ing mêngko balèni, tutur ingsun mau .
12. yèn wus sira winulang winêling, wêwalêre condhong, lan priyanta ing bab pamêngkune , bale-wisma putra maru abdi, lawan rajatadi, miwah kayanipun.
13. iku lagi tampanana nuli, kang nastiti batos, tinulisan apa saanane, tadhah putra sêlir santanabdi, miwah rajatadi, kagunganing kakung.
14.yèn wus slêsih gonira nampani, sarta wis waspaos, aturêna layang pratelane, mring priyanta paran ingkang kapti, ngêntènana malih, mring pangatagipun .
15. kang supaya aja dèn arani, wong wadon sumanggoh,
bokmanawa gêla ing batine, bêcik apa ginrayangan melik, mring kayaning laki, tan yogya satuhu.
16. ing sanadyan lakinira bêcik, momong mring wong wadon, wekanana kang mrina liyane, jêr manungsa datan nunggil kapti, ana ala bêcik, ing panêmunipun.
17. lamun kinèn banjur ambawani, ywa age rumêngkoh, lulusêna lir mau-maune, aja nyuda aja amuwuhi, tampanana batin , ngajarna awakmu.
18. êndi ingkang pinitayan nguni, amêngku ing kono, lêstarèkna ywa lirip atine, slondhohana lêlipurên ing sih,
mrih trimaning ati, kêna sira tantun.
19.yèn wus cakêp acakup pikiring , wong sajroning kono, lawan uwis mêtu piandêle, marang sira ora walangati, iku sira lagi, ngêtrap pranatanmu.
20. wêwatone nyôngga sandhang bukti, nganakkên kaprabon, jalu èstri sapangkat-pangkate, iku saking pamêtu sêsasi, utawa sawarsi, pira gunggungipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar